Fokus

Pejuang yang Kesepian.

Selama menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, Sholeh dikenal vokal  mengkritisi penyimpangan kebijakan pemerintahan Soeharto saat itu. Tanpa basa-basi, Sholeh menunjuk satu per satu kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keyakinannya

 

Mohammad Sholeh adalah alumni Jurusan Teknik Sipil ITS angkatan 1972
 (S-15). Lelaki kelahiran Surabaya ini dikenal sangat suka
 berorganisasi. Sejak duduk di bangku SMA Negeri 6 Surabaya, Sholeh
 sudah terlibat aktif dalam kepengurusan Pemuda Muhammadiyah. Dalam
 organisasi otonom Muhammadiyah tersebut, Sholeh terakhir kali
 dipercaya menjabat Ketua Cabang Bubutan.
 
 Saat menjadi mahasiswa, kegemarannya berorganisasi dituangkan dalam
 berbagai aktivitas kepanitiaan di ITS dan Senat Mahasiswa. Sholeh
 tercatat pernah menjabat Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas
 Teknik Sipil 1975-1976. Setelah pemilihan Dewan Mahasiswa di ITS,
 Sholeh kembali dipercaya menjadi Sekretaris Umum, dengan Harun
 Alrasyid sebagai Ketua. Di luar kampus, Sholeh juga aktif sebagai
 pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
 
 Selama menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, Sholeh dikenal vokal
 mengkritisi penyimpangan kebijakan pemerintahan Soeharto saat itu.
 Tanpa basa-basi, Sholeh menunjuk satu per satu kebijakan pemerintah
 yang bertentangan dengan keyakinannya. Dia pun terlibat langsung dalam
 perencanaan untuk menentang kebijakan yang menurutnya tidak berpihak
 kepada rakyat.
 
 Pada pertemuan Dewan Mahasiswa se-Indonesia pada 28 Oktober 1977 di
 ITB, bersama Harun Alrasyid, Sholeh turut menjadi salah seorang
 penandatangan Ikrar Mahasiswa. Dalam ikrar tersebut, mahasiswa
 mendesak agar MPR meminta pertanggung jawaban Presiden RI Soeharto atas
 pelanggarannya terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan. Mahasiswa juga
 menuntut dikembalikannya ABRI kepada rakyat.
 
 Dalam pertemuan tersebut, disepakati pula bahwa aksi besar-besaran
 sebagai tindak lanjut pertemuan, pada 10 November 1977. Sholeh yang
 mewakili Dewan Mahasiswa ITS menyambut hangat ditunjuknya ITS sebagai
 tuan rumah aksi tersebut. Rencana tersebut kemudian direalisasikan
 dengan melakukan longmarch dari kampus Baliwerti ke Tugu Pahlawan.
 
 Pada 19 Januari 1978, bersama Dewan Mahasiswa ITB, UI, IPB, dan USU,
 Sholeh menerobos Istana Negara Jakarta hingga ke depan Bina
 Graha, Sholeh dkk berniat menemui Presiden Soeharto menyampaikan
 tuntutan agar Soeharto tidak mencalonkan diri lagi sebagai presiden.
 Keinginan untuk bertemu tersebut ditolak Presiden Soeharto. Dia hanya
 mengutus Alamsyah Ratuperwiranegara.
 
 Namun Sholeh dkk dengan tegas menolak utusan Soeharto. Dia memilih
 menggelar jumpa pers di halaman Bina Graha. Sholeh yang memang dikenal
 dengan gaya bicaranya yang lepas, melontarkan satu kalimat yang
 membuat merah telinga penguasa saat itu. ”Keyakinan ini akan kami
 perjuangkan, kalau perlu dengan darah dan air mata”.
 
 Dua hari setelah peristiwa tersebut, pemerintah menggunakan tangan
 Pelaksana Khusus Kopkamtibda mulai menangkapi para aktivis Dewan
 Mahasiswa di seluruh Indonesia. Namun Sholeh dan beberapa rekan lain
 dari ITS masih bisa melarikan diri. Dalam pelarian, Sholeh terus
 melancarkan aksi-aksi penggalangan opini melalui selebaran dan poster
 dari kampus ke kampus. Namun karena ruang geraknya semakin
 dipersempit, Sholeh akhirnya memilih menyerahkan diri melalui Rektor
 ITS yang saat itu dijabat Prof. Mahmud Zaki, MSc.
 
 Sholeh kemudian diadili di PN Surabaya dengan tuduhan menghina
 Presiden. Namun bukan berarti sikap kritis Sholeh luntur. Dalam pledoinya yang
 berjudul “Menggugat Pemerintahan Otoriter”, Sholeh banyak mengungkap
 data-data perilaku korup para pejabat, serta ketidakadilan yang
 terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sholeh kemudian divonis 2 tahun
 penjara. Dalam banding dia memperoleh keringanan hukuman menjadi 1,5
 tahun penjara. Sholeh akhirnya bebas dari penjara setelah Mahkamah
 Agung (MA) merevisi hukumannya menjadi 1 tahun.
 
 Sholeh pernah mendapat tawaran untuk mengajukan grasi kepada Presiden
 demi menghapus status eks narapidana yang disandangnya. Namun sekali
 lagi dengan tegas Sholeh menolaknya. Dia berkeyakinan bahwa dirinya
 tidak pernah melakukan kesalahan selain memperjuangkan keyakinannya.

 Sekeluar dari penjara, Sholeh kembali ke kampus untuk menyelesaikan
 studinya dan lulus pada 1982. Bersama sejumlah rekannya, Sholeh
 mendirikan sebuah perusahaan kontraktor. Dia pun terlibat dalam
 sejumlah organisasi profesi seperti AKLI dan Gapensi maupun HIPMI.
 
 Meskipun begitu, gejolak batin Sholeh untuk terlibat aktif dalam
 politik tetap menyala. Sekitar tahun 1988 Sholeh pernah menyatakan
 keinginan menjadi calon anggota legislatif melalui PPP. Namun
 keinginan itu ditolak PPP karena status Sholeh yang eks narapidana
 politik. Hasratnya baru menemukan tempat setelah masuk Golkar satu
 tahun kemudian. Dia sempat menjabat sebagai wakil bendahara DPD Golkar
 Jatim. Aktivitasnya terhenti total akibat stroke yang menyerangnya
 sejak 1997.
 
 Pada eranya, Sholeh sangat dikenal di kalangan aktivis pergerakan
 mahasiswa di seluruh Indonesia. Pada masa inilah nama ITS berkibar
 dalam kancah pergerakan mahasiswa yang sebelumnya didominasi ITB dan
 UI. Semangat yang menyala-nyala, gaya bicara yang lugas, serta
 keteguhan pada keyakinan, membuat Sholeh mendapat tempat istimewa di
 kalangan aktivis mahasiswa Indonesia.
 
 Sebagai pribadi, Sholeh yang merupakan anak tunggal juga dikenal
 sangat setia dan peduli terhadap kawan. Namun kenyataan tragis mesti
 diterimanya. Di ujung perjalanan, Sholeh menghembuskan nafas terakhirnya
 dalam kesendirian, tanpa teman, tanpa saudara. Setelah koma selama
 empat bulan di Surabaya, Sholeh meninggal di Semarang, jauh dari
 kawan-kawan seperjuangannya. Dia dimakamkan di salah satu desa di
 Demak, Jawa Tengah, tanpa karangan bunga, tanpa air mata.
 
 Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.