ITS untuk Indonesia

INDUSTRI

Kinerja industri di Indonesia terus menurun dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, tidak terjadi industrialisasi justru brokerisasi yang tumbuh. Fakta ini mengemuka pada FGD yang digelar Dewan Pakar Pengurus Pusat IKA ITS di Press Room DPR, Jumat 16 September 2016. Sebagai narasumber pada FGD tersebut adalah Ir. Satya W. Yudha MSc (Ketua Dewan Pakar/Anggota DPR Komisi VII), Ir. Lukman Mahfoedz (Anggota Dewan Pakar/Presdir Medco Power), Ir Taufiq Bawazier (Anggota Dewan Pakar/SesDirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka) dan Ir M. Tafif Djoenaidi (Anggota Dewan Pakar/Pengusaha Industri makanan dan penunjang oil-gas). Thema yang diambil adalah “Keberpihakan Terhadap Industri Nasional”. Acara FGD dibuka oleh Ir Anas Rosjidi (Sekjen Pengurus Pusat IKA ITS), dihadiri oleh sekitar 60 peserta yang berasal dari Pengurus dan anggota Dewan Pakar serta wartawan yang bertugas di DPR. Hiruk pikuk dinamika perpolitikan di Indonesia, pemberitaan seputar infotainment dan lainnya sungguh telah menenggelamkan persoalan besar yang di hadapi Indonesia dalam aspek ketahanan ekonomi, khususnya di sektor industri. Semua pihak sepakat bahwa kemajuan suatu negara akan terlihat dari seberapa maju industri negara tersebut. Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, kenyataannya tenggelam pada upaya komersialisasi komoditas tersebut dan lebih melihat pada kepentingan jangka pendek semata. Taufiq Bawazier narasumber dari Kementerian Perindustrian yang juga anggota Dewan Pakar IKA ITS menyampaikan fakta mengejutkan bahwa kinerja industri terus menurun sejak tahun 2001 yang kontribusinya mencapai 29% terhadap perekonomian nasional, memperhatikan kriteria negara maju adalah negara yang kontribusi industri terhadap perekonomian nasional mencapai 30% maka ibaratnya tinggal selangkah lagi Indonesia mencapainya. Namun apa dikata, kinerja industri terus menurun hampir 0,7% tiap tahunnya sehingga kontribusi industri di tahun 2015 hanya mencapai 21% (18% industry + 3% migas). Karena pengelolaan perekonomian hanya melihat sumber daya alam sebagai komoditas, maka hanya dilihat pada berapa outputnya dan berapa pendapatan untuk negara. Akibatnya harga gas dalam negeri mencapai kisaran US$ 8-11 sedangkan di negara pesaing hanya US$ 4-6%. Ini akibat paradigm bahwa gas dianggap sebagai komoditas dan pemasukan, tetapi tidak dilihat sebagai “modal untuk meningkatkan nilai tambah di industri”, akibatnya industri dalam negeri tidak efisien karena energi dan logistik penyumbang biaya tertinggi. TIdak efisien maka produk impor menjadi dominan. Lukman Mahfoedz menyoroti belum berubahnya kebijakan industri nasional padahal sulit mencapai target yang ditetapkan yaitu 2020 kontribusi industri tidak termasuk migas 23% sedangkan saat ini hanya 18%. Perdagangan bebas yang diikuti Indonesia tidak didukun dengan perubahan kebijakan penguatan industri akibatnya defisit akumulatif perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$ 14 miliar. Mengapa industri dalam negeri kalah bersaing, Lukman menyoroti pada aspek tidak adanya perlindungan pasar dalam negeri dan kesempatan perusahaan nasional untuk tumbuh berkembang di dalam negeri, aspek lainnya adalah tingkat penguasaan inovasi dan teknologi yang tidak bersaing. Berbeda dengan Taufiq, terkait gas Lukman tidak sepakat bahwa gas adalah faktor utama lesunya kinerja industri dalam negeri. Banyak faktor lain yang memiliki andil besar bagi turunnya kinerja industri dan tidak mesti persoalan energi. Dukungan Pemerintah kepada industri dalam negeri untuk naik kelas masih kurang, semisal sejak tahun 70an Indonesia sudah membangun sekitar 17 train, namun kontraktor leadernya tetap asing sedangkan industri nasional meskipun jasa penunjang sudah mencapai 60% sampai saat ini belum memiliki kapasitas sebagai leader. Usulannya adalah industri yang sudah ada didorong untuk tumbuh, jangan sampai tutup seperti di Surabaya ada industri boiler yang tutup padahal ada 200 tenaga kerja yang potensial. Upaya PLN menghidupkan industri dalam negeri pada proyek listrik 35.000 MW patut diapresiasi, seperti mewajibkan kontraktor pemenang tender untuk menggunakan boiler produksi dalam negeri. Penguasaan blok migas juga penting mengingat sampai 2023 ada sekitar 35 blok migas yang kontraknya habis. Perlu keberanian Pemerintah untuk memberikan kepada pelaku migas di dalam negeri yang tentunya memiliki tantangan besar seperti : kesiapan perusahaan (termasuk Pertamina sebagai national oil company), kesiapan kontraktor nasional, SDM, R&D Teknologi dan lainnya. Narasumber Tafif menyampaikan bahwa selaku pengusaha processed food industry di luar negeri, saya melihat Indonesia yg berpenduduk 250 juta lebih menarik sebagai pasar daripada sebagai tempat pemilihan lokasi industri. Berdasarkan pengalaman pribadi, hal ini dikarenakan tidak adanya dukungan dan keberpihakan riil terhadap industri di tanah air, disamping adanya regulasi yg sering berubah, perpajakan dan persoalan sumber daya manusia, satu permasalahan yg tidak saya lihat terjadi di luar negeri. Saya yakin perusahaan2 asing akan melihat hal yang sama, kecuali dengan terpaksa perusahaan tersebut bertujuan untuk mengambil sumber daya alam kita atau industri tersebut tidak boleh dilakukan di negerinya atau adanya persyaratan dari pemerintah Indonesia. Karena itu banyak perusahan asing yang ijin usahanya merupakan ijin usaha tetap atau industri, namun bila kita cermati lebih dalam mereka lebih berlaku sebagai importir produk2 yang diimpor dari pabrik2 mereka yg berada di luar negeri, malah melakukan perdagangan. Kalo hal ini dibiarkan, tentu saja akan mengurangi pertumbuhan sektor industri di tanah air. Seharusnya perusahaan asing tidak boleh berdagang ditanah air, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977, tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing di Sektor Perdagangan. Di sektor Migas, keinginan para founding fathers ekonomi dan industri jelas jelas menginginkan adanya pertumbuhan industri nasional sejalan dengan tumbuhnya aktifitas di sektor Migas, sesuai dengan apa yg disampaikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Bpk. Soemantri Brojonegoro dan Direktur Utama Pertamina, Bpk. Ibnu Soetowo pada saat pembukaan Convention pertama IPA - Indonesian Petroleum Association tahun 1972. Para founding fathers kita sangat faham bahwa sumber daya migas kita dalam waktu yang tidak lama akan segera habis. Karena itu sedari awal, keberpihakan terhadap industri penunjang migas sudah terasakan dengan adanya preferensi kandungan lokal, yang diregulasikan di Undang Undang Migas No. 22 tahun 2001 dan ditegaskan di peraturan pengadaan yaitu PTK-007 yang digawangi oleh SKK Migas. Sejak dikeluarkannya Undang undang BUMN no.19 tahun 2003, maka kinerja BUMN lebih diukur berdasarkan profitabilitas semata dan menghilangkan salah satu fungsinya sebagai "agent of development". BUMN pada akhirnya lebih suka melakukan pembelian barang dan jasa langsung ke pabrikan di luar negeri daripada ke pabrikan dalam negeri - yang penting mendapatkan barang dengan harga lebih murah dan bisa memberikan keuntungan sebesar besarnya. Konglomerasi BUMN juga terjadi, dimana pekerjaan yang tadinya di-outsourced sekarang dikerjakan oleh anak anak usahanya atau divisi internal, yang pada akhirnya bisa mematikan industri penunjangnya. Narasumber terakhir Satya W Yudha bahwa problematika industri nasional terkait dengan pengelolaan tata negara. Mengejar pertumbuhan tidak semata angka, tetapi adalah pertumbuhan yang berkualitas yang akan menciptakan ekonomi yang berkualitas. Jangan sampai Indonesia menjadi extended market dengan pemberlakuan MEA. Keikutsertaan Indonesia di MEA sampai saat ini belum didukung perangkat hokum yang mendukungnya. Misal di Thailand, Filipina dan lainnya sudah mempelajari bahasa Indonesia bagi tenaga kerjanya sehingga akan siap untuk mengambil porsi jasa di Indonesia. Pertanyaannya apakah di Indonesia sudah melakukan hal yang sama?. Melihat kinerja industri yang terus turun karena salah satu biaya tinggi di sektor energy semisal gas, ada baiknya Pemerintah merubah parameter gas, begitu pula wartawan mesti lebih memahami lagi bahwa lifting minyak dan gas jangan dihubungkan dengan pendapatan negara. Tetapi jadikan sebagai modal bagi menciptakan industri yang kuat yang pada akhirnya produk industri tersebut menjadi dominan didalam negeri. Bagian Pemerintah perlu dikurangi agar harga gas kompetitif. Jika paradigma sekarang adalah harga gas yang tinggi untuk menghasilkan pendapatan yang tinggi kemudian dibelanjakan dalam bentuk impor barang konsumsi. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas dan tidak menciptakan jam kerja di Indonesia. Parameter mesti diubah pada komponen pajak, semakin kuat industry maka akan semakin besar pajak yang dibayarkan. DPR dan Pemerintah sudah sepakat memasukan Gini Ratio sebagai salah satu tolok ukur dalam APBN sehingga setiap upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar terjadi pemerataan. Menjawab pertanyaan wartawan dari berbagai media massa tentang link & match antara industri dan perguruan tinggi yang tidak berjalan dengan baik, kampanye penggunaan produk dalam negeri yang tidak efektif, TKDN, pencabutan subsidi dan lainnya, secara garis besar narasumber menjawab bahwa local content sangat penting dan dapat menjadi keunggulan suatu negara, semisal Brazil mampu mendorong tumbuhnya local content alat kesehatan dan sekarang menguasai Amerika Selatan. Kanada berhasil mendorong tumbuhnya industri turbin dan industry energy alternative. Begitupula India yang mampu mendorong tumbuhnya local content pada industri solar cell. Margin indsutri yang berbasis inovasi juga sangat tinggi yaitu 70% sedangkan manufaktur hanya 20%. Subsidi penting dan jangan hanya dilihat pada subsidi lisrik, BBM, transportasi dan lainnya. Subsidi bahkan diatur dalam UUD memang implementasinya masih kurang tepat, mestinya subsidi langsung ke penerima. Selama ini subsidi ke barang/jasa seperti listrik, BBM dan lainnya sehingga akan dinikmati pula oleh masyarakat mampu.

MARITIM

Presiden Republik Indonesia tanggal 1 November 2016 menerima audiensi Ikatan Alumni ITS di Istana Negara. Pada pertemuan tersebut Ketua Umum IKA ITS Dwi Soetjipto memperkenalkan ITS dan IKA ITS serta pemikiran IKA ITS, salah satunya Alumni ITS memberikan apresiasi yang tinggi atas strategi pembangunan Pemerintah dibawah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi yang memfokuskan pembangunan di sektor maritim. Setelah puluhan tahun bangsa Indonesia memunggungi laut, maka di era kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi menjadikan laut sebagai masa depan Indonesia. Alumni ITS memberikan dukungan pada upaya meningkatkan daya saing Indonesia melalui program “Tol Laut” yang diharapkan dapat menumbuhkan pusat ekonomi baru, mendistribusikan pembangunan ke daerah untuk menciptakan kemakmuran yang merata. Sebagai Perguruan Tinggi yang memiliki sejarah panjang di sektor maritim dengan keberadaan Fakultas Teknologi Kelautan serta dijadikannya ITS sebagai pusat penelitian maritim di Indonesia, maka Ikatan Alumni ITS mencoba memberikan kontribusi untuk mendorong akselerasi pembangunan ekonomi maritim mellalui berbagai kegiatan seminar dan workshop untuk menajamkan hasil-hasil FGD tersebut yang tertuang dalam Buku Rekomendasi Kebijakan “INDONESIA POROS MARITIM DUNIA” Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat. Pada audiensi tersebut, juga disampaikan Alumni ITS juga memberikan apresiasi atas upaya menjadikan energi sebagai penggerak ekonomi bangsa serta memberikan kesempatan bagi saudara-saudara kita di berbagai pelosok negeri untuk menikmati kemudahan mendapatkan BBM dan harga yang sama dengan saudaranya di Jawa. Kebijakan satu harga BBM di seluruh Indonesia adalah bentuk perhatian Pemerintah bagi upaya pemanfaatan energi untuk kemakmuran masyarakat Indonesia di seluruh pelosok, bahkan di pulau-pulau terluar Indonesia. Beberapa hari yang lalu, bekerjasama dengan ITS sebagai rangkaian kegiatan Dies Natalis ITS, maka tanggal 29 Oktober 2016 telah dilaksanakan Talk Show Kemandirian Energi, serta tentu saja dukungan Alumni ITS bagi upaya membangun kemandirian industri dan energi dengan mendukung kampus ITS mengembangkan berbagai inovasi salah satunya motor listrik ITS yang saat ini sedang proses uji coba menempuh perjalanan Jakarta-Bali. Pada kesempatan audiensi tersebut, Ketua Umum IKA ITS juga menambahkan bahwa IKA ITS yang memiliki 16 Pengurus Wilayah dan 23 Pengurus Komisariat Jurusan akan terus memberikan masukan dan kontribusi nyata dalam membangun Indonesia, serta infrastruktur IKA ITS yang menyentuh daerah tersebut semoga dapat bermitra dengan Pemerintah dalam berbagai kegiatan yang menyentuh masyarakat. Ketua Dewan Pakar IKA ITS menambahkan bahwa ITS adalah perguruan tinggi di bidang maritim tertua dan terbesar di Indonesia yang memiliki laboratorium Hidrodinamika terbesar di Asia Tenggara, yang menjadi modal berharga bagi Indonesia untuk membangun industri maritim yang kuat #maritim #kemandirianenergi #ITS Buku Rekomendasi Kebijakan IKA ITS “INDONESIA POROS MARITIM DUNIA” Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat Ikuti Bedah Buku tersebut yang akan dilaksanakan sebagai rangkaian Sarasehan Nasional yang diselenggarakan Pengurus Pusat IKA ITS di Jakarta, Sabtu 17 Desember 2016 di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan. Buku judul “Indonesia Poros Maritim Dunia : Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat” merupakan rangkaian paparan yang berkaitan dengan isu-isu strategis kemaritiman sekaligus tantangan dan permasalahan yang dihadapi, dan rekomendasi yang diperlukan untuk perbaikan. Buku tersebut dibuat dengan maksud sebagai masukan bagi Pemerintah dalam pengembangan, implementasi, dan pengelolaan potensi maritim di Indonesia. Salah satu puncak perjuangan kedaulatan yang sangat menentukan dalam sejarah tersebut adalah usaha mendefinsikan dan menguasai wilayah Indonesia, yang dikenal dengan Deklarasi Juanda yang menjadikan luas wilayah kedaulatan Indonesia meningkat tajam mencapai 5,8 juta km2 dengan jumlah pulau 17.480 dan panjang garis pantai mencapai 91.000 km atau garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Untuk menjelaskan Konsep Visi “Indonesia Poros Maritim Dunia” serta bagaimana cara mencapainya, IKA ITS mengusulkan instrumen “ Kerangka Kerja Maritim Indonesia” (KKMI), dimana Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2045, 100 tahun setelah Indonesia merdeka. Hal itu ditandai dengan terwujudnya capaian sesuai dengan kriteria yang diringkas menjadi tujuh (7) parameter, yaitu
  1. Budaya Maritim menjadi dasar keberagaman masyarakat maritim dan memberikan spirit serta pola kerja yang tumbuh dari jiwa maritim.
  2. Indonesia menjadi produsen dan eksportir hasil budidaya laut dengan nilai tambah dan nilai ekonomi terbesar di dunia.
  3. Indonesia berdaulat atas hasil kekayaan sumber daya alam yang terkandung dalam laut, termasuk hasil pangan, mineral, migas dan energi laut.
  4. Biaya logistik menjadi terjangkau oleh masyarakat.
  5. Laut Indonesia aman dari segala ancaman dan ganguan serta kondusif untuk iklim investasi maritim sehingga menjadi pusat bisnis maritim dunia
  6. ALKI I, II dan III memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, mengingat diplomasi internasional telah menyepakati bahwa ALKI tersebut merupakan Alur Pelayaran Internasional yang lebih besar dari Terusan Suez, Terusan Panama maupun Gibraltar, dan
  7. Kontribusi nilai ekonomi pada perekonomian nasional meningkat, dimana ekonomi maritim semakin dominan menuju 70% PDB (Produk Domestik Bruto).
Untuk mewujudkan tercapainya tujuh (7) parameter implementasi kerangka kerja maritim, maka harus dilakukan upaya komprehensif dan terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan melalui : a. Mengokohkan Kedaulatan Maritim b. Membangun Ekonomi Maritim c. Memantapkan Tata Kelola d. Menegakkan Hukum e. Mengembangkan Riset, Teknologi dan Industri Sebagai negara kepulauan, potensi ancaman terbesar terhadap kedaulatan dan wilayah Indonesia berada di laut. Tingkat ancaman menjadi semakin tinggi karena posisi geografi Indonesia berada pada lalu lintas perdagangan dunia. Untuk itu penegakan kedaulatan maritim perlu didukung dengan antara lain a) menyelesaikan wilayah perbatasan dengan negara tetangga, b) memperkuat armada militer (TNI Angkatan Laut an Angkatan Udara), c) memberikan peran yang lebih efektif bagi BAKAMLA, d) mengembangkan pulau-pulau kecil terutama yang berbatasan dengan negara tetangga. Membangun ekonomi maritim menjadi sangat penting karena menjadi kunci bagi kuatnya Indonesia sebagai negara maritim. Pengembangan ekonomi berbasis maritim tidak hanya akan berdampak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengembangan ekonomi dilakukan melalui tujuh (7) bidang strategis ekonomi ayitu : a) industri dan jasa maritim, b) perikanan, c) agro maritim, d) wisata bahari, e) pertambangan minyak gas dan mineral, f) transportasi laut, g) energi laut. Hal strategis yang bisa dilaksanakan antara lain :
  • Memperkuat transportasi laut yang berkualitas dengan dukungan SDM yang memiliki kompetensi yang tinggi
  • Meningkatkan armada transportasi laut untuk mendukung interkoneksi antar pulau sehingga mampu menciptakan daerah pertumbuhan ekonomi baru.
  • Mengoptimalkan potensi pariwisata bahari yang diintegrasikan dengan kesiapan infrastruktur pendukung di pelabuhan
  • Membentuk pusat energi laut nasional dan mendorong tumbuhnya riset dan teknologi.
  • Memperkuat investasi berbasis maritim melalui perbaikan iklim investasi, kemudahan perizinan dan dukungan birokrasi yang kuat.
  • Menyediakan pijakan hukum yang kuat untuk mendukung ekonomi maritim
  • Mempermudah koordinasi lintas sektoral dan mengembangkan sistem tata kelola sumber daya laut dengan prinsip berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
  • Membangun infrastruktur Hub (Transhipment) di Indonesia yang mampu melayani kapal generasi 6 atau kapal dengan capsize sekitar 200.000 DWT.
  • Mengembangkan pusat industri maritim pada lokasi yang dilewati oleh ALKI
  • Meningkatkan kemampuan BUMN dan BUMS yang mampu mendukung pengembangan ekonomi maritim.
  • Menggairahkan industri kapal dan komponen serta industri penunjang lainnya.
  • Melakukan reformasi pembiayaa dan perpajakan pada industri kapal agar mampu membangun dan mendorong tumbuhnya industri kapal dalam negeri.
  • Menghapus PPN 10% bagi impor komponen kapal, dalam rangka menekan “cost of fund” di industri kapal nasional.
  • Menurunkan angka pelanggaran di kawasan maritim dengan cara : membersihkan aksi perompakan, pencurian lingkungan, perusakan terumbu karang, wisata bahari liar, illegal loging dan human traficcking
  • Mereview Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran yang lebih mengutamakan kemandirian bagi kapal berbendera Indonesia dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha kapal nasional.
  • Mereview Inpres No 5 Tahun 2005 tentang asas cabotage yang mengutamakan kemandirian bagi kapal berbendera Indonesia dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha kapal nasional.
  • Mengusulkan UU Perkapalan dan Pelabuhan yang pro pertumbuhan dan pro ketenagakerjaan.

INFRASTRUKTUR

(sumber : katadata) Gencarnya pembangunan infrastruktur di Indonesia oleh Pemerintah patut diapresiasi banyak pihak. Di tahun 2018 porsi anggaran infrastruktur dalam APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp 387,7 triliun atau 2,8% terhadap produk domestik bruto (PDB). Tahun 2018, pemerintah menggelontorkan dana infrastruktur jauh lebih besar, menjadi Rp 455 triliun atau 3,1% terhadap PDB. Pembangunan infrastruktur mencakup infrastruktur darat, laut dan udara. Untuk infrastruktur darat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan total ruas jalan tol yang dioperasikan selama pemerintahan Jokowi-JK dari hingga 2016 telah mencapai 176 kilometer, dan pada akhir 2017 diperkirakan menjadi 568 km. Target selama 5 tahun pemerintahan adalah 1.851 km. Pekan lalu, Presiden pun kembali meresmikan jalan tol. Kali ini ruas Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 42 kilometer. Persoalannya, bagaimana efeknya terhadap anggaran. Hingga Agustus 2017, menurut catatan Kementerian Keuangan, defisit anggaran mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Angka tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 2,09 persen. Meski begitu, mengingat penerimaan pajak tidak sesuai harapan, diperkirakan defisit anggaran hingga akhir tahun ini bisa mencapai 2,9 persen, yang berarti sangat dekat dengan batas maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang. Kritik agar pemerintah memperbaiki tata kelola dan manjemen risiko pembangunan infrastruktur patut didengar. Meski arahnya sudah benar, dan tujuannya diyakini positif dalam jangka panjang, dalam jangka pendek perlu dipastikan tak menimbulkan komplikasi. Apalagi sebagian besar proyek infrastruktur pemerintah dikerjakan oleh BUMN karya. Bahkan ada beberapa yang bersifat penugasan. Jangan sampai niat baik yang kurang terkelola, justru akan menimbulkan efek negatif, meningkatkan profil risiko baik pada level korporasi pelaksana proyek maupun makro ekonomi terkait anggaran. Ambisi pemerintah mau tidak mau harus bisa dikelola. Di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga. Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar (crowding-out effect), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment. Apalagi sampai menjerumuskan perekonomian ke jurang krisis. Justru sebaliknya, tranformasi perekonomian tengah terjadi. Namun, tentu saja pembangunan infrastruktur saja tak cukup. Pembangunan infrastruktur memang masih sangat diperlukan, dan kekurangan pasokan infrastruktur kita sudah terlalu parah. Namun, membangun tanpa manajemen risiko yang baik juga berbahaya. Apalagi, pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya. Masih ada banyak aspek lain yang juga harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas bangsa. Konsentrasi pada infrastruktur fisik mengakibatkan perkembangan tak sinkron, antara aspek fisik dan non-fisik, termasuk aspek kelembagaan di dalamnya. Sederet persoalan lain, seperti kecakapan sumber daya manusia, juga perlu diperhatikan. Pilihan yang bisa ditempuh pemerintah saat ini adalah mengerem pembangunan fisik dan mengintensifkan penataan kelembagaan guna memastikan terjadinya peningkatan produktivitas perekonomian. Penataan kelembagaan relatif tak membutuhkan anggaran besar, namun lebih rumit karena menyangkut aparat birokrasi yang begitu kompleks. Bahkan paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pun terasa belum maksimal dampaknya, sehingga diperlukan konsolidasi lanjutan. Dengan begitu, pembangunan infrastruktur fisik merupakan bagian integral dari pembangunan kelembagaan dan perekonomian yang bertumpu pada peningkatan produktivitas. Seperti diketahui, Pemerintahan Presiden Joko Widodo menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai faktor fundamental untuk mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Anggaran untuk infrastruktur terus meningkat signifikan. Beberapa permasalahan yang mengganjal dalam konteks pembangunan infrastruktur adalah:
  1. Permasalahannya adalah pembangunan infrastruktur masih berpusat di Jawa. Seperti pada tabel di atas, bahwa alokasi anggaran infastruktur di Jawa mencapai angka lebih dari 50%
  2. Masih dominannya pembangunan infrastruktur daerat
  3. Belum adanya pemerataan pusat pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan menggeliatnya industri baru di luar Jawa.
  4. Bahwa subsidi angkutan laut dalam rangka menekan perbedaan harga antara Jawa dan Luar Jawa adalah hal yang patut diberikan apresiasi. Namun tanpa diiringi membangun pertumbuhan ekonomi di luar Jawa maka, efektifitas tol laut akan menjadi rendah karena muatan kapal akan penuh jika berangkat dari Jakarta, namun akan kosong jika berangkat dari daerah.

ENERGI

Keberhasilan membangun perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor. Sn, Salah satu faktor penting adalah ketersediaan pasokan energi dengan biaya yang terjangkau dan mampu menjangkau seluruh lapisan penggerak ekonomi. Maka, tidak mengherankan jika energi telah berperan lebih jauh lagi menjadi faktor pembentuk daya saing suatu negara. Indonesia memiliki sumber daya yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi dan mewujudkan swasembada energi yang berkelanjutan. Selain itu, sumber energi yang beragam, baik energi berbasis fosil maupun energi terbarukan, menjadikan Indonesia memiliki banyak pilihan energi sesuai dengan kebutuhan dan strategi pemanfaatannya. Dalam jangka pendek, energi fosil adalah pilihan yang terbaik, karena mayoritas seluruh alat produksi yang menopang perekonomian dan kehidupan masyarakat dibuat berdasarkan sumber energi dari fosil. Adapun pengembangan energi terbarukan adalah strategi dalam mencukupi kebutuhan dimasa mendatang sebagaimana diatur dalam PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), maka pada tahun 2025 porsi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan menduduki peringkat ketiga sumber energi paling banyak digunakan yaitu sebesar 23% setelah batubara 30% dan minyak 25%. Adapun dalam jangka lebih panjang, tahun 2050 atau setelah 105 tahun Indonesia merdeka, sumber energi minyak bumi dan batubara kontribusinya terus menyusut pada angka 25% dan 20%. EBT adalah sumber energi terbesar yang mencapai 31%. NAWACITA telah menempatkan kemandirian energi sebagai salah satu pilar dalam membangun kedaulatan ekonomi Indonesia. Hal ini menempatkan posisi energi pada level yang terhormat dan strategis dengan menjadikan energi sebagai salah satu pilar daya saing Indonesia. Sebelum melihat potensi energi sebagai pilar daya saing, perlu melihat kondisi realitas energi saat ini yang masih “menjadi beban” bagi negara. Kenaikan harga minyak dunia yang sempat menyentuh angka USD 100-120 dolar/barel pasca krisis keuangan 2008 telah menjadikan energi menjadi beban bagi perekonomian Indonesia. Subsidi energi pernah mencapai Rp 300 triliun/tahun pada Pemerintahan sebelumnya dan menjadikan subsidi energi sebagai pos pengeluaran APBN terbesar di kala itu. Produksi migas yang terus menyusut sedangkan konsumsi terus tumbuh menjadikan neraca minyak menjadi negatif sehingga negara harus memberikan subsidi dalam jumlah yang luar biasa. Wacana beralih ke energi terbarukan mengemuka dan melahirkan beberapa regulasi yang mengarah pada pemanfataan energi terbarukan. Namun perkembangannya kurang menggembirakan dan target energy mix 2025 berpotensi tidak tercapai. Membangun kemandirian energi dimulai dari Kemandirian energi berbasis fosil. Perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dan menciptakan kelas menengah yang semakin besar, maka harus didorong dengan ketersediaan energi yang lebih bersih meskipun dengan biaya yang lebih mahal. Membangun kemandirian energi lebih baik mulai dari hulu atau hilir?. Layaknya sebuah perusahaan, maka ketika berinvestasi ataupun ekspansi akan melihat potensi pasar terlebih dahulu dan bukan bagaiman membangun pabrik?. Begitupula di sektor migas, maka membangun kemandirian energi harus dimulai dari hilir dan kemudian terintegrasi dengan hulu. Berbicara sektor hilir, maka salah satu yang menarik adalah bahan bakar minyak (BBM). Fakta menunjukkan bahwa Pertamina memiliki peran yang dominan di sektor hilir meskipun sektor ini sudah diliberalisasi sejak tahun 2001, namun investasi Pertamina lebih besar dan lebih agresif dibandingkan swasta asing maupun nasional. Sejak berhentinya Pertamina membangun kilang di tahun 1996, maka praktis kapasitas produksi BBM di Indonesia relatif tidak bertambah, sedangkan konsumsi terus meningkat. Pada tahun 2015 konsumsi BBM di Indonesia sekitar 1,6 juta barrel/hari sedangkan produksi sekitar 800 ribu barrel/hari, dibutuhkan impor BBM 800 ribu barrel/hari. Dapat dibayangkan berapa besar kebutuhan devisa untuk biaya impor, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, serta berapa besar jam kerja yang menghidupkan industri pengolahan negara lain. Tentu saja berkolerasi terhadap berapa besar penurunan daya saing perekonomian Indonesia yang akan terjadi. Kebijakan Pemerintah saat ini yang membatasi subsidi BBM, telah mendorong Pertamina melakukan diversifikasi produk. Pada tahun 2015 Pertamina meluncurkan produk BBM Pertalite diantara produk Premium (subsidi) dan Pertamax, serta tentu saja produk lain seperti Dexlite, Bright Gas dan lainnya. Pertumbuhan produk BBM non subsidi yang tinggi di tahun 2016 menunjukkan pula bahwa kesadaran masyarakat akan produk berkualitas dengan harga terjangkau semakin diminati. Otomotif adalah sektor bisnis yang menggunakan BBM paling besar dibandingkan sektor lainnya. Pemerintah telah menetapkan standar BBM Euro 4 atau melompat dari sebelumnya Euro 2. Hal ini menjadi tantangan bagi penyedia BBM, terutama Pertamina untuk mampu meningkatkan kualitas produk di kilang-kilang yang umumnya telah menua dengan teknologi yang terbatas untuk dilakukan upgrading. Standar BBM yang tinggi, tentu saja membuka peluang impor BBM yang lebih banyak dimasa mendatang pada saat produk otomotif berstandar EURO 4 mulai membanjiri pasar. Langkah Pertamina yang memiliki roadmap MegaProyek Kemandirian Energi 2023 harus didorong oleh berbagai stakeholders agar dapat dibangun dan selesai tepat waktu. Setiap keterlambatan yang terjadi tentu akan mengurangi tingkat pencapaian kemandirian energi dan sangat mempengaruhi daya saing ekonomi Indonesia dimasa depan. Mampu menciptakan kemandirian energi di sektor energi fosil, maka langkah berikutnya membangun kemandirian energi berbasis energi terbarukan akan lebih mudah dilaksanakan. Langkah Pemerintah yang mulai menyiapkan Dana Ketahanan Energi (DKE) adalah langkah yang tepat, namun perlu perubahan kebijakan untuk meningkatkan efektifitasnya. Mengingat Indonesia sangat tertinggal dibandingkan negara lain, bahkan Timor Leste yang baru merdeka tahun 1999 sudah memiliki Dana Ketahanan Energi lebih dari USD 16,9 miliar. Membangun DKE harus mencakup seluruh energi fosil yang digunakan di Indonesia, tidak cukup hanya dana DKE dari BBM premium saat ada fluktuasi harga minyak dunia semata. Menggunakan dana DKE untuk mendorong penggunaan EBT secara masih adalah langkah investasi untuk membangun kemandirian energi di masa mendatang yang kompetitif. Kisah Thailand yang telah menempatkan diri sebagai pusat mobil listrik di ASEAN, padahal Indonesia yang lebih dahulu memulai hendaknya menjadi cermin bahwa membangun kemandirian energi harus terintegrasi, menjadi program prioritas dan memiliki time line yang jelas dan terukur.

ICT & DIGITAL

Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo memiliki sebuah visi besar dalam sektor ekonomi digital. Pemerintah menargetkan Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di ASEAN pada 2020. Berdasarkand ata dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) maka di ASEAN pertumbuhan ekosistem ICT dan Digital di Indonesia adalah paling cepat dan memiliki peluang pasar yang sangat besar. Ruang pertumbuhan masih terbuka lebar karena pengguna internet Indonesia berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk. Industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia dalam lima tahun terakhir tumbuh 9,98-10,7% per tahun, hampir dua kali lipat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,79-6,56%. Mulai 2019, industri TIK domestik diproyeksikan tumbuh di atas 11% per tahun karena seluruh wilayah Nusantara terhubung jaringan internet seiring rampungnya proyek pembangunan broadband serat optik (Palapa Ring) pada akhir 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri TIK di Tanah Air dalam ima tahun terakhir (2011-2015) tumbuh 9,98% hingga 10,7%, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,79% sampai 6,56%. Tingginya pertumbuhan TIK di Indonesia juga tercermin pada besarnya alokasi belanja modal (capital expenditure/capex) di sektor TIK yang setiap tahun terus naik. Lembaga riset International Data Corporation (IDC) pun memprediksi capex sektor TIK di Indonesia pada 2016 mencapai US$ 15,3 miliar (Rp 201,76 triliun), tumbuh 8,5% dari tahun lalu US$ 14,1 milliar (Rp 183,53 triliun). Selain ditopang proyek Palapa Ring, pertumbuhan industri TIK di dalam negeri ke depan antara lain bakal disokong pencanangan Indonesia sebagai negara ekonomi digital pada 2020, digitalisasi di sektor swasta dan layanan publik oleh negara, terus bertumbuhnya kelas menengah, serta dominasi kaum muda dalam struktur demografi Indonesia. Optimisme di sektor ICT, didorong olah dua komponen utama yaitu industri dan konten. Dari sisi industri, terlihat bahwa operator telekomunikasi berlomba-lomba membangun infrastruktur secara masif, mulai dari jaringan 2G, 3G, hingga 4G. Tidak hanya itu, terjadi persaingan antar operator yang cenderung tidak sehat dan menimbulkan perang tarif, dimana operator menurunkan harga serendah-rendahnya untuk menaikkan utilisasi jaringan mereka. Maraknya smartphone murah yang sesuai dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Walaupun perang tarif berdampak buruk bagi industri telekomunikasi, tapi dampaknya terhadap masyarakat sangat terasa, dimana telekomunikasi kini tidak lagi dianggap sebagai barang mahal. Sedangkan dari sisi konten, menggeliatnya penggunaan media sosial seperti Facebook dan Twitter serta munculnya aplikasi chat seperti BlackBerry Messenger (BBM) dan WhatsApp menjadi pendorong utama penetrasi data di Indonesia. Ekossitem digital tumbuh dan startup bermunculan. Namun sayangnya, perlahan-lahan startup tersebut berganti kepemilikan, dan pada akhirnya potensi pasar ICT di Indonesia khususnya terkait transaksi berbasis Digital akan dikuasai asing. Polemik antara Google dan Menteri Keuangan terkait pajak, dimasa depan akan berpeluang terjadi lagi, jika kemudian entitas ICT di Indonesia yang dikuasai asing hanya berfungsi sebagai perwakilan semata. Ekonomi digital memang memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Laporan dari Oxford Economics (2016) menyebutkan bahwa keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah lapangan kerja di Indonesia. Secara khusus, setiap 1 persen peningkatan penetrasi mobile diproyeksikan menyumbang tambahan 640 juta US Dollar kepada PDB Indonesia serta membuka 10.700 lapangan kerja baru pada tahun 2020. Kontribusi sektor TIK makin terasa signifikan terhadap PDB Indonesia, mengingat sektor TIK menyumbang 7.2 persen dari total PDB Indonesia. Walaupun angka ini masih jauh dibandingkan sektor lain, namun sektor TIK mengalami pertumbuhan sekitar 10 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor lain. Pertumbuhan ini pun juga jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan rata-rata PDB nasional yang hanya 5 persen. Maka tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap sektor ekonomi digital. Industri Fintech juga menjadi salah satu primadona yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Laporan dari DailySocial mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir pertumbuhan fintech start-up mencapai 78%, dan sebagian besar fokus di sektor pembayaran. Hal ini wajar mengingat fakta bahwa saat ini hanya 36% dari orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di bank. Padahal, teknologi finansial adalah enabler penting bagi kesuksesan ekonomi digital. Selain itu, dampak dari fintech sendiri sangat terasa dalam hal mempromosikan layanan finansial yang inklusif. Dengan adanya fintech, masyarakat dapat melakukan pembayaran lewat pulsa telepon ataupun lewat minimarket secara mudah dibanding harus melakukan transfer lewat bank. Menyadari pertumbuhan industri fintech ini, pemerintah lewat Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersikap sangat supportif dengan menyusun peraturan mengenai peer-to-peer Fintech lending serta membuka Bank Indonesia Fintech Office (BI FTO) untuk memantau segala dinamika pertumbuhan industri fintech di Indonesia. E-commerce juga menjadi industri yang mengalami pertumbuhan signifikan di Indonesia. Hal ini didasari fakta bahwa 8 juta masyarakat Indonesia sudah berbelanja secara online dan diprediksi terus meningkat. Perilaku konsumtif dan digital dari masyarakat Indonesia, ditambah meningkatnya jangkauan pasar menjadi pendorong utama. Tren ini pula yang membuat banyak pemain yang selama ini berjualan secara offline turut membuka toko online. Meski begitu, sektor e-commerce di Indonesia baru berkontribusi sebesar 0.8% dari total penjualan ritel, jauh dibawah Tiongkok (11%) dan Amerika Serikat (8%). Untuk itu, sesuai visi ekonomi digital 2020 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendukung ekosistem e-commerce di Indonesia, seperti Paket Kebijakan Ekonomi 14 tentang peta jalan e-commerce, 1 juta domain name gratis, digitalisasi 50 juta UKM, dan gerakan 1000 start-up digital. Regulasi selalu menjadi isu utama jika kita bicara tentang start-up dan disruptive innovation. Faktanya, regulasi memang selalu tertinggal dibandingkan dinamika pertumbuhan teknologi yang sangat pesat. Namun, yang perlu dipastikan adalah bagaimana Pemerintah bersama pihak-pihak terkait dapat menyusun regulasi yang adaptif dan tidak mematikan inovasi digital. Pemerintah saat ini telah menunjukkan tren yang positif dalam hal penyusunan regulasi, namun di internal Pemerintah sendiri terdapat perbedaan perspektif dalam menanggapi inovasi digital. Contoh yang terlihat adalah bagaimana para pemain baru di sektor on-demand transportation terkesan mendapatkan regulasi yang tidak suportif dengan menyamakan mereka dengan para pemain lama. Namun di sisi lain sektor Fintech dan e-commerce mendapat perhatian dan dukungan yang sangat banyak. Belum lagi isu-isu lain seperti perlindungan data konsumen, keamanan transaksi dan isu-isu lain yang masuk dalam ranah cyber security. Lebih jauh, keberadaan sebuah badan khusus yang fokus mengkoordinasikan isu-isu terkait ekonomi digital menjadi sebuah keharusan, mengingat selama ini isu ekonomi digital diurus secara "keroyokan" oleh berbagai instansi pemerintah. Bila semua tantangan ini bisa ditangani secara serius, dan semua potensi yang ada bisa dimaksimakan, bukan tidak mungkin kita akan melihat Indonesia berjaya sebagai kekuatan ekonomi digital di ASEAN bahkan di dunia. Semoga visi besar ini bisa terwujud. India bisa dijadikan contoh bagi Indonesia untuk pengembangan negara digital. Mulai dari startup hingga ekosistem pengembangan sumber daya manusianya. Dalam infrastruktur ICT Indonesia relatif ketinggalan jauh dibandingkan India sudah membangun infrastruktur broadband fiber optik sepanjang 250 ribu km yang menyentuh seluruh desa di negara tersebut. Perusahaan rintisan atau startup juga sangat pesat, setidaknya ada 8 ribu startup dan menjadi negara terbesar kedua di dunia di sektor ini. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa untuk terobosan di bidang ICT, Indonesia perlu belajar dari India, dimana komitmen pemerintahnya benar-benar mendorong tumbuhnya ekosistem digital. Baik itu dari segi Infrastruktur, SDM, maupun sektor keuangan dan pembiayaan. Di negara Bollywood itu pun pengembangan software dan aplikasi menjadi salah satu tumpuan, sehingga sumber daya ICT di India surplus. Ada mising-link industri ICT di Indonesia yaitu, perguruan tinggi yang memiliki peluang besar sebagai pusat pengembangan ICT relatif ketinggalan. Beberapa tahun yang lalu Microsoft bekerjasama dengan beberapa kampus teknologi terbaik di Indonesia, kemudian ada Cisco dan lainnya. Namun, karya-karya kampus dibidang ICT masih sangat minim. Kelengkapan laboratorium, tentaga pengajar dan kesempatan belajar yang luas belum sepenuhnya menghasilkan SDM dibidang ICT yang tangguh. Penguatan riset di Kemenristekdikti di kampus dapat difokuskan pada riset berbasis ICT sampai dengan komerialisasinya. Maraknya industri ICT di Indonesia khususnya industri perangkat keras, tidak dinikmati Indonesia. Nilai penjualan perangkat keras komputer, demikian BMI Research, mencapai Rp 100,5 triliun pada 2015 dan diproyeksikan naik menjadi Rp 142 triliun pada 2019 (tumbuh rata-rata 9,5% per tahun). Sedangkan penjualan software tahun lalu mencapai Rp 29,18 triliun dan diproyeksikan naik menjadi Rp 56,64 triliun pada 2019 (tumbuh 18,5%). Adapun nilai penjualan layanan TI yang tahun lalu sebesar Rp 46,63 triliun, diperkirakan naik menjadi Rp 91,12 triliun pada 2019 (tumbuh 18,7%). (diolah dari berbagai sumber)