INDUSTRI
Kinerja industri di Indonesia terus menurun dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, tidak terjadi industrialisasi justru brokerisasi yang tumbuh. Fakta ini mengemuka pada FGD yang digelar Dewan Pakar Pengurus Pusat IKA ITS di Press Room DPR, Jumat 16 September 2016. Sebagai narasumber pada FGD tersebut adalah Ir. Satya W. Yudha MSc (Ketua Dewan Pakar/Anggota DPR Komisi VII), Ir. Lukman Mahfoedz (Anggota Dewan Pakar/Presdir Medco Power), Ir Taufiq Bawazier (Anggota Dewan Pakar/SesDirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka) dan Ir M. Tafif Djoenaidi (Anggota Dewan Pakar/Pengusaha Industri makanan dan penunjang oil-gas). Thema yang diambil adalah “Keberpihakan Terhadap Industri Nasional”. Acara FGD dibuka oleh Ir Anas Rosjidi (Sekjen Pengurus Pusat IKA ITS), dihadiri oleh sekitar 60 peserta yang berasal dari Pengurus dan anggota Dewan Pakar serta wartawan yang bertugas di DPR. Hiruk pikuk dinamika perpolitikan di Indonesia, pemberitaan seputar infotainment dan lainnya sungguh telah menenggelamkan persoalan besar yang di hadapi Indonesia dalam aspek ketahanan ekonomi, khususnya di sektor industri. Semua pihak sepakat bahwa kemajuan suatu negara akan terlihat dari seberapa maju industri negara tersebut. Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, kenyataannya tenggelam pada upaya komersialisasi komoditas tersebut dan lebih melihat pada kepentingan jangka pendek semata. Taufiq Bawazier narasumber dari Kementerian Perindustrian yang juga anggota Dewan Pakar IKA ITS menyampaikan fakta mengejutkan bahwa kinerja industri terus menurun sejak tahun 2001 yang kontribusinya mencapai 29% terhadap perekonomian nasional, memperhatikan kriteria negara maju adalah negara yang kontribusi industri terhadap perekonomian nasional mencapai 30% maka ibaratnya tinggal selangkah lagi Indonesia mencapainya. Namun apa dikata, kinerja industri terus menurun hampir 0,7% tiap tahunnya sehingga kontribusi industri di tahun 2015 hanya mencapai 21% (18% industry + 3% migas). Karena pengelolaan perekonomian hanya melihat sumber daya alam sebagai komoditas, maka hanya dilihat pada berapa outputnya dan berapa pendapatan untuk negara. Akibatnya harga gas dalam negeri mencapai kisaran US$ 8-11 sedangkan di negara pesaing hanya US$ 4-6%. Ini akibat paradigm bahwa gas dianggap sebagai komoditas dan pemasukan, tetapi tidak dilihat sebagai “modal untuk meningkatkan nilai tambah di industri”, akibatnya industri dalam negeri tidak efisien karena energi dan logistik penyumbang biaya tertinggi. TIdak efisien maka produk impor menjadi dominan. Lukman Mahfoedz menyoroti belum berubahnya kebijakan industri nasional padahal sulit mencapai target yang ditetapkan yaitu 2020 kontribusi industri tidak termasuk migas 23% sedangkan saat ini hanya 18%. Perdagangan bebas yang diikuti Indonesia tidak didukun dengan perubahan kebijakan penguatan industri akibatnya defisit akumulatif perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$ 14 miliar. Mengapa industri dalam negeri kalah bersaing, Lukman menyoroti pada aspek tidak adanya perlindungan pasar dalam negeri dan kesempatan perusahaan nasional untuk tumbuh berkembang di dalam negeri, aspek lainnya adalah tingkat penguasaan inovasi dan teknologi yang tidak bersaing. Berbeda dengan Taufiq, terkait gas Lukman tidak sepakat bahwa gas adalah faktor utama lesunya kinerja industri dalam negeri. Banyak faktor lain yang memiliki andil besar bagi turunnya kinerja industri dan tidak mesti persoalan energi. Dukungan Pemerintah kepada industri dalam negeri untuk naik kelas masih kurang, semisal sejak tahun 70an Indonesia sudah membangun sekitar 17 train, namun kontraktor leadernya tetap asing sedangkan industri nasional meskipun jasa penunjang sudah mencapai 60% sampai saat ini belum memiliki kapasitas sebagai leader. Usulannya adalah industri yang sudah ada didorong untuk tumbuh, jangan sampai tutup seperti di Surabaya ada industri boiler yang tutup padahal ada 200 tenaga kerja yang potensial. Upaya PLN menghidupkan industri dalam negeri pada proyek listrik 35.000 MW patut diapresiasi, seperti mewajibkan kontraktor pemenang tender untuk menggunakan boiler produksi dalam negeri. Penguasaan blok migas juga penting mengingat sampai 2023 ada sekitar 35 blok migas yang kontraknya habis. Perlu keberanian Pemerintah untuk memberikan kepada pelaku migas di dalam negeri yang tentunya memiliki tantangan besar seperti : kesiapan perusahaan (termasuk Pertamina sebagai national oil company), kesiapan kontraktor nasional, SDM, R&D Teknologi dan lainnya. Narasumber Tafif menyampaikan bahwa selaku pengusaha processed food industry di luar negeri, saya melihat Indonesia yg berpenduduk 250 juta lebih menarik sebagai pasar daripada sebagai tempat pemilihan lokasi industri. Berdasarkan pengalaman pribadi, hal ini dikarenakan tidak adanya dukungan dan keberpihakan riil terhadap industri di tanah air, disamping adanya regulasi yg sering berubah, perpajakan dan persoalan sumber daya manusia, satu permasalahan yg tidak saya lihat terjadi di luar negeri. Saya yakin perusahaan2 asing akan melihat hal yang sama, kecuali dengan terpaksa perusahaan tersebut bertujuan untuk mengambil sumber daya alam kita atau industri tersebut tidak boleh dilakukan di negerinya atau adanya persyaratan dari pemerintah Indonesia. Karena itu banyak perusahan asing yang ijin usahanya merupakan ijin usaha tetap atau industri, namun bila kita cermati lebih dalam mereka lebih berlaku sebagai importir produk2 yang diimpor dari pabrik2 mereka yg berada di luar negeri, malah melakukan perdagangan. Kalo hal ini dibiarkan, tentu saja akan mengurangi pertumbuhan sektor industri di tanah air. Seharusnya perusahaan asing tidak boleh berdagang ditanah air, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977, tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing di Sektor Perdagangan. Di sektor Migas, keinginan para founding fathers ekonomi dan industri jelas jelas menginginkan adanya pertumbuhan industri nasional sejalan dengan tumbuhnya aktifitas di sektor Migas, sesuai dengan apa yg disampaikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Bpk. Soemantri Brojonegoro dan Direktur Utama Pertamina, Bpk. Ibnu Soetowo pada saat pembukaan Convention pertama IPA - Indonesian Petroleum Association tahun 1972. Para founding fathers kita sangat faham bahwa sumber daya migas kita dalam waktu yang tidak lama akan segera habis. Karena itu sedari awal, keberpihakan terhadap industri penunjang migas sudah terasakan dengan adanya preferensi kandungan lokal, yang diregulasikan di Undang Undang Migas No. 22 tahun 2001 dan ditegaskan di peraturan pengadaan yaitu PTK-007 yang digawangi oleh SKK Migas. Sejak dikeluarkannya Undang undang BUMN no.19 tahun 2003, maka kinerja BUMN lebih diukur berdasarkan profitabilitas semata dan menghilangkan salah satu fungsinya sebagai "agent of development". BUMN pada akhirnya lebih suka melakukan pembelian barang dan jasa langsung ke pabrikan di luar negeri daripada ke pabrikan dalam negeri - yang penting mendapatkan barang dengan harga lebih murah dan bisa memberikan keuntungan sebesar besarnya. Konglomerasi BUMN juga terjadi, dimana pekerjaan yang tadinya di-outsourced sekarang dikerjakan oleh anak anak usahanya atau divisi internal, yang pada akhirnya bisa mematikan industri penunjangnya. Narasumber terakhir Satya W Yudha bahwa problematika industri nasional terkait dengan pengelolaan tata negara. Mengejar pertumbuhan tidak semata angka, tetapi adalah pertumbuhan yang berkualitas yang akan menciptakan ekonomi yang berkualitas. Jangan sampai Indonesia menjadi extended market dengan pemberlakuan MEA. Keikutsertaan Indonesia di MEA sampai saat ini belum didukung perangkat hokum yang mendukungnya. Misal di Thailand, Filipina dan lainnya sudah mempelajari bahasa Indonesia bagi tenaga kerjanya sehingga akan siap untuk mengambil porsi jasa di Indonesia. Pertanyaannya apakah di Indonesia sudah melakukan hal yang sama?. Melihat kinerja industri yang terus turun karena salah satu biaya tinggi di sektor energy semisal gas, ada baiknya Pemerintah merubah parameter gas, begitu pula wartawan mesti lebih memahami lagi bahwa lifting minyak dan gas jangan dihubungkan dengan pendapatan negara. Tetapi jadikan sebagai modal bagi menciptakan industri yang kuat yang pada akhirnya produk industri tersebut menjadi dominan didalam negeri. Bagian Pemerintah perlu dikurangi agar harga gas kompetitif. Jika paradigma sekarang adalah harga gas yang tinggi untuk menghasilkan pendapatan yang tinggi kemudian dibelanjakan dalam bentuk impor barang konsumsi. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas dan tidak menciptakan jam kerja di Indonesia. Parameter mesti diubah pada komponen pajak, semakin kuat industry maka akan semakin besar pajak yang dibayarkan. DPR dan Pemerintah sudah sepakat memasukan Gini Ratio sebagai salah satu tolok ukur dalam APBN sehingga setiap upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar terjadi pemerataan. Menjawab pertanyaan wartawan dari berbagai media massa tentang link & match antara industri dan perguruan tinggi yang tidak berjalan dengan baik, kampanye penggunaan produk dalam negeri yang tidak efektif, TKDN, pencabutan subsidi dan lainnya, secara garis besar narasumber menjawab bahwa local content sangat penting dan dapat menjadi keunggulan suatu negara, semisal Brazil mampu mendorong tumbuhnya local content alat kesehatan dan sekarang menguasai Amerika Selatan. Kanada berhasil mendorong tumbuhnya industri turbin dan industry energy alternative. Begitupula India yang mampu mendorong tumbuhnya local content pada industri solar cell. Margin indsutri yang berbasis inovasi juga sangat tinggi yaitu 70% sedangkan manufaktur hanya 20%. Subsidi penting dan jangan hanya dilihat pada subsidi lisrik, BBM, transportasi dan lainnya. Subsidi bahkan diatur dalam UUD memang implementasinya masih kurang tepat, mestinya subsidi langsung ke penerima. Selama ini subsidi ke barang/jasa seperti listrik, BBM dan lainnya sehingga akan dinikmati pula oleh masyarakat mampu.MARITIM
Presiden Republik Indonesia tanggal 1 November 2016 menerima audiensi Ikatan Alumni ITS di Istana Negara. Pada pertemuan tersebut Ketua Umum IKA ITS Dwi Soetjipto memperkenalkan ITS dan IKA ITS serta pemikiran IKA ITS, salah satunya Alumni ITS memberikan apresiasi yang tinggi atas strategi pembangunan Pemerintah dibawah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi yang memfokuskan pembangunan di sektor maritim. Setelah puluhan tahun bangsa Indonesia memunggungi laut, maka di era kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi menjadikan laut sebagai masa depan Indonesia. Alumni ITS memberikan dukungan pada upaya meningkatkan daya saing Indonesia melalui program “Tol Laut” yang diharapkan dapat menumbuhkan pusat ekonomi baru, mendistribusikan pembangunan ke daerah untuk menciptakan kemakmuran yang merata. Sebagai Perguruan Tinggi yang memiliki sejarah panjang di sektor maritim dengan keberadaan Fakultas Teknologi Kelautan serta dijadikannya ITS sebagai pusat penelitian maritim di Indonesia, maka Ikatan Alumni ITS mencoba memberikan kontribusi untuk mendorong akselerasi pembangunan ekonomi maritim mellalui berbagai kegiatan seminar dan workshop untuk menajamkan hasil-hasil FGD tersebut yang tertuang dalam Buku Rekomendasi Kebijakan “INDONESIA POROS MARITIM DUNIA” Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat. Pada audiensi tersebut, juga disampaikan Alumni ITS juga memberikan apresiasi atas upaya menjadikan energi sebagai penggerak ekonomi bangsa serta memberikan kesempatan bagi saudara-saudara kita di berbagai pelosok negeri untuk menikmati kemudahan mendapatkan BBM dan harga yang sama dengan saudaranya di Jawa. Kebijakan satu harga BBM di seluruh Indonesia adalah bentuk perhatian Pemerintah bagi upaya pemanfaatan energi untuk kemakmuran masyarakat Indonesia di seluruh pelosok, bahkan di pulau-pulau terluar Indonesia. Beberapa hari yang lalu, bekerjasama dengan ITS sebagai rangkaian kegiatan Dies Natalis ITS, maka tanggal 29 Oktober 2016 telah dilaksanakan Talk Show Kemandirian Energi, serta tentu saja dukungan Alumni ITS bagi upaya membangun kemandirian industri dan energi dengan mendukung kampus ITS mengembangkan berbagai inovasi salah satunya motor listrik ITS yang saat ini sedang proses uji coba menempuh perjalanan Jakarta-Bali. Pada kesempatan audiensi tersebut, Ketua Umum IKA ITS juga menambahkan bahwa IKA ITS yang memiliki 16 Pengurus Wilayah dan 23 Pengurus Komisariat Jurusan akan terus memberikan masukan dan kontribusi nyata dalam membangun Indonesia, serta infrastruktur IKA ITS yang menyentuh daerah tersebut semoga dapat bermitra dengan Pemerintah dalam berbagai kegiatan yang menyentuh masyarakat. Ketua Dewan Pakar IKA ITS menambahkan bahwa ITS adalah perguruan tinggi di bidang maritim tertua dan terbesar di Indonesia yang memiliki laboratorium Hidrodinamika terbesar di Asia Tenggara, yang menjadi modal berharga bagi Indonesia untuk membangun industri maritim yang kuat #maritim #kemandirianenergi #ITS Buku Rekomendasi Kebijakan IKA ITS “INDONESIA POROS MARITIM DUNIA” Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat Ikuti Bedah Buku tersebut yang akan dilaksanakan sebagai rangkaian Sarasehan Nasional yang diselenggarakan Pengurus Pusat IKA ITS di Jakarta, Sabtu 17 Desember 2016 di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan. Buku judul “Indonesia Poros Maritim Dunia : Membangun Indonesia Menjadi Negara Maritim Yang Mandiri, Maju dan Kuat” merupakan rangkaian paparan yang berkaitan dengan isu-isu strategis kemaritiman sekaligus tantangan dan permasalahan yang dihadapi, dan rekomendasi yang diperlukan untuk perbaikan. Buku tersebut dibuat dengan maksud sebagai masukan bagi Pemerintah dalam pengembangan, implementasi, dan pengelolaan potensi maritim di Indonesia. Salah satu puncak perjuangan kedaulatan yang sangat menentukan dalam sejarah tersebut adalah usaha mendefinsikan dan menguasai wilayah Indonesia, yang dikenal dengan Deklarasi Juanda yang menjadikan luas wilayah kedaulatan Indonesia meningkat tajam mencapai 5,8 juta km2 dengan jumlah pulau 17.480 dan panjang garis pantai mencapai 91.000 km atau garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Untuk menjelaskan Konsep Visi “Indonesia Poros Maritim Dunia” serta bagaimana cara mencapainya, IKA ITS mengusulkan instrumen “ Kerangka Kerja Maritim Indonesia” (KKMI), dimana Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2045, 100 tahun setelah Indonesia merdeka. Hal itu ditandai dengan terwujudnya capaian sesuai dengan kriteria yang diringkas menjadi tujuh (7) parameter, yaitu- Budaya Maritim menjadi dasar keberagaman masyarakat maritim dan memberikan spirit serta pola kerja yang tumbuh dari jiwa maritim.
- Indonesia menjadi produsen dan eksportir hasil budidaya laut dengan nilai tambah dan nilai ekonomi terbesar di dunia.
- Indonesia berdaulat atas hasil kekayaan sumber daya alam yang terkandung dalam laut, termasuk hasil pangan, mineral, migas dan energi laut.
- Biaya logistik menjadi terjangkau oleh masyarakat.
- Laut Indonesia aman dari segala ancaman dan ganguan serta kondusif untuk iklim investasi maritim sehingga menjadi pusat bisnis maritim dunia
- ALKI I, II dan III memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, mengingat diplomasi internasional telah menyepakati bahwa ALKI tersebut merupakan Alur Pelayaran Internasional yang lebih besar dari Terusan Suez, Terusan Panama maupun Gibraltar, dan
- Kontribusi nilai ekonomi pada perekonomian nasional meningkat, dimana ekonomi maritim semakin dominan menuju 70% PDB (Produk Domestik Bruto).
- Memperkuat transportasi laut yang berkualitas dengan dukungan SDM yang memiliki kompetensi yang tinggi
- Meningkatkan armada transportasi laut untuk mendukung interkoneksi antar pulau sehingga mampu menciptakan daerah pertumbuhan ekonomi baru.
- Mengoptimalkan potensi pariwisata bahari yang diintegrasikan dengan kesiapan infrastruktur pendukung di pelabuhan
- Membentuk pusat energi laut nasional dan mendorong tumbuhnya riset dan teknologi.
- Memperkuat investasi berbasis maritim melalui perbaikan iklim investasi, kemudahan perizinan dan dukungan birokrasi yang kuat.
- Menyediakan pijakan hukum yang kuat untuk mendukung ekonomi maritim
- Mempermudah koordinasi lintas sektoral dan mengembangkan sistem tata kelola sumber daya laut dengan prinsip berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
- Membangun infrastruktur Hub (Transhipment) di Indonesia yang mampu melayani kapal generasi 6 atau kapal dengan capsize sekitar 200.000 DWT.
- Mengembangkan pusat industri maritim pada lokasi yang dilewati oleh ALKI
- Meningkatkan kemampuan BUMN dan BUMS yang mampu mendukung pengembangan ekonomi maritim.
- Menggairahkan industri kapal dan komponen serta industri penunjang lainnya.
- Melakukan reformasi pembiayaa dan perpajakan pada industri kapal agar mampu membangun dan mendorong tumbuhnya industri kapal dalam negeri.
- Menghapus PPN 10% bagi impor komponen kapal, dalam rangka menekan “cost of fund” di industri kapal nasional.
- Menurunkan angka pelanggaran di kawasan maritim dengan cara : membersihkan aksi perompakan, pencurian lingkungan, perusakan terumbu karang, wisata bahari liar, illegal loging dan human traficcking
- Mereview Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran yang lebih mengutamakan kemandirian bagi kapal berbendera Indonesia dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha kapal nasional.
- Mereview Inpres No 5 Tahun 2005 tentang asas cabotage yang mengutamakan kemandirian bagi kapal berbendera Indonesia dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha kapal nasional.
- Mengusulkan UU Perkapalan dan Pelabuhan yang pro pertumbuhan dan pro ketenagakerjaan.
INFRASTRUKTUR
(sumber : katadata) Gencarnya pembangunan infrastruktur di Indonesia oleh Pemerintah patut diapresiasi banyak pihak. Di tahun 2018 porsi anggaran infrastruktur dalam APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp 387,7 triliun atau 2,8% terhadap produk domestik bruto (PDB). Tahun 2018, pemerintah menggelontorkan dana infrastruktur jauh lebih besar, menjadi Rp 455 triliun atau 3,1% terhadap PDB. Pembangunan infrastruktur mencakup infrastruktur darat, laut dan udara. Untuk infrastruktur darat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan total ruas jalan tol yang dioperasikan selama pemerintahan Jokowi-JK dari hingga 2016 telah mencapai 176 kilometer, dan pada akhir 2017 diperkirakan menjadi 568 km. Target selama 5 tahun pemerintahan adalah 1.851 km. Pekan lalu, Presiden pun kembali meresmikan jalan tol. Kali ini ruas Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 42 kilometer. Persoalannya, bagaimana efeknya terhadap anggaran. Hingga Agustus 2017, menurut catatan Kementerian Keuangan, defisit anggaran mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Angka tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 2,09 persen. Meski begitu, mengingat penerimaan pajak tidak sesuai harapan, diperkirakan defisit anggaran hingga akhir tahun ini bisa mencapai 2,9 persen, yang berarti sangat dekat dengan batas maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang. Kritik agar pemerintah memperbaiki tata kelola dan manjemen risiko pembangunan infrastruktur patut didengar. Meski arahnya sudah benar, dan tujuannya diyakini positif dalam jangka panjang, dalam jangka pendek perlu dipastikan tak menimbulkan komplikasi. Apalagi sebagian besar proyek infrastruktur pemerintah dikerjakan oleh BUMN karya. Bahkan ada beberapa yang bersifat penugasan. Jangan sampai niat baik yang kurang terkelola, justru akan menimbulkan efek negatif, meningkatkan profil risiko baik pada level korporasi pelaksana proyek maupun makro ekonomi terkait anggaran. Ambisi pemerintah mau tidak mau harus bisa dikelola. Di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga. Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar (crowding-out effect), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment. Apalagi sampai menjerumuskan perekonomian ke jurang krisis. Justru sebaliknya, tranformasi perekonomian tengah terjadi. Namun, tentu saja pembangunan infrastruktur saja tak cukup. Pembangunan infrastruktur memang masih sangat diperlukan, dan kekurangan pasokan infrastruktur kita sudah terlalu parah. Namun, membangun tanpa manajemen risiko yang baik juga berbahaya. Apalagi, pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya. Masih ada banyak aspek lain yang juga harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas bangsa. Konsentrasi pada infrastruktur fisik mengakibatkan perkembangan tak sinkron, antara aspek fisik dan non-fisik, termasuk aspek kelembagaan di dalamnya. Sederet persoalan lain, seperti kecakapan sumber daya manusia, juga perlu diperhatikan. Pilihan yang bisa ditempuh pemerintah saat ini adalah mengerem pembangunan fisik dan mengintensifkan penataan kelembagaan guna memastikan terjadinya peningkatan produktivitas perekonomian. Penataan kelembagaan relatif tak membutuhkan anggaran besar, namun lebih rumit karena menyangkut aparat birokrasi yang begitu kompleks. Bahkan paket kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pun terasa belum maksimal dampaknya, sehingga diperlukan konsolidasi lanjutan. Dengan begitu, pembangunan infrastruktur fisik merupakan bagian integral dari pembangunan kelembagaan dan perekonomian yang bertumpu pada peningkatan produktivitas. Seperti diketahui, Pemerintahan Presiden Joko Widodo menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai faktor fundamental untuk mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Anggaran untuk infrastruktur terus meningkat signifikan. Beberapa permasalahan yang mengganjal dalam konteks pembangunan infrastruktur adalah:- Permasalahannya adalah pembangunan infrastruktur masih berpusat di Jawa. Seperti pada tabel di atas, bahwa alokasi anggaran infastruktur di Jawa mencapai angka lebih dari 50%
- Masih dominannya pembangunan infrastruktur daerat
- Belum adanya pemerataan pusat pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan menggeliatnya industri baru di luar Jawa.
- Bahwa subsidi angkutan laut dalam rangka menekan perbedaan harga antara Jawa dan Luar Jawa adalah hal yang patut diberikan apresiasi. Namun tanpa diiringi membangun pertumbuhan ekonomi di luar Jawa maka, efektifitas tol laut akan menjadi rendah karena muatan kapal akan penuh jika berangkat dari Jakarta, namun akan kosong jika berangkat dari daerah.