Fokus

Obama dan Kemenangan Web 2.0

barrack obama

barrack obamaSepotong kepala nyengir. Wajahnya nongol di berbagai televisi. Dia mendongak, melempar senyum kemenangan. Senyumannya adalah sejarah baru Amerika Serikat. Ya, Barack Obama, kandidat dari Partai Demokrat.
Pertanyaannya: mengapa si anak Menteng itu menang? Bukankah dalam sejarah Amerika selama ini kursi presiden selalu dimenangi oleh politikus yang kenyang asam-garam, bukan politikus kencur seperti Obama.
Ada yang bilang, Obama menang karena duit kampanyenya nyaris tak berseri. Dana kampanye Obama US$ 659,7 juta (Rp 6,9 triliun). Jumlah itu hampir tiga kali lipat dana kampanye John McCain, rivalnya dari Partai Republik, yang “cuma” US$ 238,1 juta (Rp 2,5 triliun).
Yang lain bilang itu semua berkat sukses Obama merangkul anak muda, yang disebut oleh kalangan biro sebagai generasi X dan Y. Mereka independen, terdiri atas aneka ras, melek Internet, suka musik atau video game, serta berani bersuara.
Obama mafhum soal ini. Rivalnya, McCain, didukung oleh mayoritas warga kulit putih. Itulah sebabnya, Obama menembak generasi X dan Y ini dengan kampanye web 2.0 dengan jurus-jurus mencengangkan.
Salah satu senjata rahasia Obama di dunia web 2.0 adalah pemuda imut berusia 24 tahun, Chris Hughes, yang direkrutnya. Empat tahun lalu, Hughes masih duduk di bangku Universitas Harvard membantu teman sekamarnya, Mark Zuckerberg, meluncurkan Facebook bersama Dustin Moskovitz. Tapi setahun lalu dia menangani kampanye web Obama.
Hughes dan timnya inilah yang menjadikan situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, MySpace, Twitter, dan Plurk, sebagai mesin penyebar pesan ampuh. Mereka juga menggarap YouTube, blog, milis, dan forum diskusi. Hebatnya, pesan yang disebarkan tak semua didikte oleh tim kampanye Obama. Anggota situs jejaring sosial itulah yang menggerakkan “tangan-tangan tak tampak”.
Lewat situs jejaring sosial inilah para sukarelawan menggalang triliunan rupiah dana kampanye. Mereka juga mengirim surel alias surat elektronik dan menelepon sahabat agar ikut pertemuan mendukung Obama di tingkat RT atau kelurahan. Gelegak dukungan yang digerakkan situs jejaring sosial ini menjadikan Obama kata yang lebih banyak dicari ketimbang McCain.
Lihatlah bagaimana kelompok model ini bekerja. Suatu kali
Barack Obama menulis surat kepada seorang penggemarnya. Nadanya memikat. Dia menulis, “Anda harus menyampaikan pesan ini: kini setiap anak di Amerika bisa bermimpi menjadi presiden. Tak peduli apa warna kulitnya. Semua bisa tumbuh besar dan kelak menjadi presiden.”
Surat itu dikirimkan Obama kepada aktor dari Harlem, Dennis Rahiim Watson. Rahiim telah 25 tahun memainkan pertunjukan tunggal yang bertajuk “Presiden Kulit Hitam Pertama di AS”. Rahiim tersentuh. Itulah yang mengubahnya sehingga dia berkampanye membela Obama tanpa dibayar. Ia mengajak teman, tetangga, kakek, nenek, teteh lewat media online maupun konvensional. Bayangkan, berapa orang yang tersihir seperti Rahiim? Bahkan di Indonesia lahir komunitas pendukung Obama yang bertukar pikiran secara daring.
Mesin web 2.0 telah bekerja. Saat Obama mengatakan “perubahan tak akan datang jika kita menunggu orang lain melakukannya”, orang orang seperti Rahiim hakulyakin soal itu. Dia seperti jutaan orang pada Januari 1958 yang yakin pada Mao Zedong, yang dengan mulut tipisnya berkata, “Cina harus setingkat dengan Inggris dalam waktu 15 tahun.” (*)

November 9, 2008 |
Burhan Sholihin