BeritaFokus

Perlu Terobosan Dalam Kebijakan Industri Nasional

dpr-1Kinerja industri di Indonesia terus menurun dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, tidak terjadi industrialisasi justru brokerisasi yang tumbuh. Fakta ini mengemuka pada FGD yang digelar Dewan Pakar Pengurus Pusat IKA ITS di Press Room DPR, Jumat 16 September 2016.

Sebagai narasumber pada FGD tersebut adalah Ir. Satya W. Yudha MSc (Ketua Dewan Pakar/Anggota DPR Komisi VII), Ir. Lukman Mahfoedz (Anggota Dewan Pakar/Presdir Medco Power), Ir Taufiq Bawazier (Anggota Dewan Pakar/SesDirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka) dan Ir M. Tafif Djoenaidi (Anggota Dewan Pakar/Pengusaha Industri makanan dan penunjang oil-gas).

Thema yang diambil adalah “Keberpihakan Terhadap Industri Nasional”. Acara FGD dibuka oleh Ir Anas Rosjidi (Sekjen Pengurus Pusat IKA ITS), dihadiri oleh sekitar 60 peserta yang berasal dari Pengurus dan anggota Dewan Pakar serta wartawan yang bertugas di DPR.

Hiruk pikuk dinamika perpolitikan di Indonesia, pemberitaan seputar infotainment dan lainnya sungguh telah menenggelamkan persoalan besar yang di hadapi Indonesia dalam aspek ketahanan ekonomi, khususnya di sektor industri. Semua pihak sepakat bahwa kemajuan suatu negara akan terlihat dari seberapa maju industri negara tersebut. Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, kenyataannya tenggelam pada upaya komersialisasi komoditas tersebut dan lebih melihat pada kepentingan jangka pendek semata.

Taufiq Bawazier narasumber dari Kementerian Perindustrian yang juga anggota Dewan Pakar IKA ITS menyampaikan fakta mengejutkan bahwa kinerja industri terus menurun sejak tahun 2001 yang kontribusinya mencapai 29% terhadap perekonomian nasional, memperhatikan kriteria negara maju adalah negara yang kontribusi industri terhadap perekonomian nasional mencapai 30% maka ibaratnya tinggal selangkah lagi Indonesia mencapainya.

Namun apa dikata, kinerja industri terus menurun hampir 0,7% tiap tahunnya sehingga kontribusi industri di tahun 2015 hanya mencapai 21% (18% industry + 3% migas). Karena pengelolaan perekonomian hanya melihat sumber daya alam sebagai komoditas, maka hanya dilihat pada berapa outputnya dan berapa pendapatan untuk negara. Akibatnya harga gas dalam negeri mencapai kisaran US$ 8-11 sedangkan di negara pesaing hanya US$ 4-6%. Ini akibat paradigm bahwa gas dianggap sebagai komoditas dan pemasukan, tetapi tidak dilihat sebagai “modal untuk meningkatkan nilai tambah di industri”, akibatnya industri dalam negeri tidak efisien karena energi dan logistik penyumbang biaya tertinggi. TIdak efisien maka produk impor menjadi dominan.

Lukman Mahfoedz menyoroti belum berubahnya kebijakan industri nasional padahal sulit mencapai target yang ditetapkan yaitu 2020 kontribusi industri tidak termasuk migas 23% sedangkan saat ini hanya 18%. Perdagangan bebas yang diikuti Indonesia tidak didukun dengan perubahan kebijakan penguatan industri akibatnya defisit akumulatif perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$ 14 miliar.

Mengapa industri dalam negeri kalah bersaing, Lukman menyoroti pada aspek tidak adanya perlindungan pasar dalam negeri dan kesempatan perusahaan nasional untuk tumbuh berkembang di dalam negeri, aspek lainnya adalah tingkat penguasaan inovasi dan teknologi yang tidak bersaing. Berbeda dengan Taufiq, terkait gas Lukman tidak sepakat bahwa gas adalah faktor utama lesunya kinerja industri dalam negeri. Banyak faktor lain yang memiliki andil besar bagi turunnya kinerja industri dan tidak mesti persoalan energi.

Dukungan Pemerintah kepada industri dalam negeri untuk naik kelas masih kurang, semisal sejak tahun 70an Indonesia sudah membangun sekitar 17 train, namun kontraktor leadernya tetap asing sedangkan industri nasional meskipun jasa penunjang sudah mencapai 60% sampai saat ini belum memiliki kapasitas sebagai leader. Usulannya adalah industri yang sudah ada didorong untuk tumbuh, jangan sampai tutup seperti di Surabaya ada industri boiler yang tutup padahal ada 200 tenaga kerja yang potensial.

Upaya PLN menghidupkan industri dalam negeri pada proyek listrik 35.000 MW patut diapresiasi, seperti mewajibkan kontraktor pemenang tender untuk menggunakan boiler produksi dalam negeri. Penguasaan blok migas juga penting mengingat sampai 2023 ada sekitar 35 blok migas yang kontraknya habis. Perlu keberanian Pemerintah untuk memberikan kepada pelaku migas di dalam negeri yang tentunya memiliki tantangan besar seperti : kesiapan perusahaan (termasuk Pertamina sebagai national oil company), kesiapan kontraktor nasional, SDM, R&D Teknologi dan lainnya.

Sebagai pelaku industri, Tafif Djunaidi menyampaikan bahwa selaku pengusaha processed food industry di luar negeri, saya melihat Indonesia yg berpenduduk 250 juta lebih menarik sebagai pasar daripada sebagai tempat pemilihan lokasi industri. Berdasarkan pengalaman pribadi, hal ini dikarenakan tidak adanya dukungan dan keberpihakan riil terhadap industri di tanah air, disamping adanya regulasi yg sering berubah, perpajakan dan persoalan sumber daya manusia, satu permasalahan yg tidak saya lihat terjadi di luar negeri.

Saya yakin perusahaan2 asing akan melihat hal yang sama, kecuali dengan terpaksa perusahaan tersebut bertujuan untuk mengambil sumber daya alam kita atau industri tersebut tidak boleh dilakukan di negerinya atau adanya persyaratan dari pemerintah Indonesia. Karena itu banyak perusahan asing yang ijin usahanya merupakan ijin usaha tetap atau industri, namun bila kita cermati lebih dalam mereka lebih berlaku sebagai importir produk2 yang diimpor dari pabrik2 mereka yg berada di luar negeri, malah melakukan perdagangan. Kalo hal ini dibiarkan, tentu saja akan mengurangi pertumbuhan sektor industri di tanah air.

Seharusnya perusahaan asing tidak boleh berdagang ditanah air, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977, tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing di Sektor Perdagangan. Di sektor Migas, keinginan para founding fathers ekonomi dan industri jelas jelas menginginkan adanya pertumbuhan industri nasional sejalan dengan tumbuhnya aktifitas di sektor Migas, sesuai dengan apa yg disampaikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Bpk. Soemantri Brojonegoro dan Direktur Utama Pertamina, Bpk. Ibnu Soetowo pada saat pembukaan Convention pertama IPA – Indonesian Petroleum Association tahun 1972.

Para founding fathers kita sangat faham bahwa sumber daya migas kita dalam waktu yang tidak lama akan segera habis. Karena itu sedari awal, keberpihakan terhadap industri penunjang migas sudah terasakan dengan adanya preferensi kandungan lokal, yang diregulasikan di Undang Undang Migas No. 22 tahun 2001 dan ditegaskan di peraturan pengadaan yaitu PTK-007 yang digawangi oleh SKK Migas. Sejak dikeluarkannya Undang undang BUMN no.19 tahun 2003, maka kinerja BUMN lebih diukur berdasarkan profitabilitas semata dan menghilangkan salah satu fungsinya sebagai “agent of development”.

BUMN pada akhirnya lebih suka melakukan pembelian barang dan jasa langsung ke pabrikan di luar negeri daripada ke pabrikan dalam negeri – yang penting mendapatkan barang dengan harga lebih murah dan bisa memberikan keuntungan sebesar besarnya. Konglomerasi BUMN juga terjadi, dimana pekerjaan yang tadinya di-outsourced sekarang dikerjakan oleh anak anak usahanya atau divisi internal, yang pada akhirnya bisa mematikan industri penunjangnya.

Narasumber terakhir Satya W Yudha bahwa problematika industri nasional terkait dengan pengelolaan tata negara. Mengejar pertumbuhan tidak semata angka, tetapi adalah pertumbuhan yang berkualitas yang akan menciptakan ekonomi yang berkualitas. Jangan sampai Indonesia menjadi extended market dengan pemberlakuan MEA. Keikutsertaan Indonesia di MEA sampai saat ini belum didukung perangkat hokum yang mendukungnya. Misal di Thailand, Filipina dan lainnya sudah mempelajari bahasa Indonesia bagi tenaga kerjanya sehingga akan siap untuk mengambil porsi jasa di Indonesia.

Pertanyaannya apakah di Indonesia sudah melakukan hal yang sama?. Melihat kinerja industri yang terus turun karena salah satu biaya tinggi di sektor energy semisal gas, ada baiknya Pemerintah merubah parameter gas, begitu pula wartawan mesti lebih memahami lagi bahwa lifting minyak dan gas jangan dihubungkan dengan pendapatan negara. Tetapi jadikan sebagai modal bagi menciptakan industri yang kuat yang pada akhirnya produk industri tersebut menjadi dominan didalam negeri.

Bagian Pemerintah perlu dikurangi agar harga gas kompetitif. Jika paradigma sekarang adalah harga gas yang tinggi untuk menghasilkan pendapatan yang tinggi kemudian dibelanjakan dalam bentuk impor barang konsumsi. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas dan tidak menciptakan jam kerja di Indonesia. Parameter mesti diubah pada komponen pajak, semakin kuat industry maka akan semakin besar pajak yang dibayarkan. DPR dan Pemerintah sudah sepakat memasukan Gini Ratio sebagai salah satu tolok ukur dalam APBN sehingga setiap upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar terjadi pemerataan.

Menjawab pertanyaan wartawan dari berbagai media massa tentang link & match antara industri dan perguruan tinggi yang tidak berjalan dengan baik, kampanye penggunaan produk dalam negeri yang tidak efektif, TKDN, pencabutan subsidi dan lainnya, secara garis besar narasumber menjawab bahwa local content sangat penting dan dapat menjadi keunggulan suatu negara, semisal Brazil mampu mendorong tumbuhnya local content alat kesehatan dan sekarang menguasai Amerika Selatan. Kanada berhasil mendorong tumbuhnya industri turbin dan industry energy alternative.

Begitupula India yang mampu mendorong tumbuhnya local content pada industri solar cell. Margin indsutri yang berbasis inovasi juga sangat tinggi yaitu 70% sedangkan manufaktur hanya 20%. Subsidi penting dan jangan hanya dilihat pada subsidi lisrik, BBM, transportasi dan lainnya. Subsidi bahkan diatur dalam UUD memang implementasinya masih kurang tepat, mestinya subsidi langsung ke penerima. Selama ini subsidi ke barang seperti listrik, BBM dan lainnya sehingga akan dinikmati pula oleh masyarakat mampu.