Berita

Rismaharini, walikota anti kompromi

Terancam diberhentikan sebagai Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, tetap bersikukuh bahwa berbagai kebijakan kontroversinya dalam menata Kota Surabaya selama ini semata-mata untuk “kepentingan rakyat.”

Dan untuk kepentingan itu, Rismaharini -yang dilantik sebagai Wali Kota Surabaya pada September 2010 lalu- mengaku berusaha habis-habisan untuk memegang prinsipnya itu.

Tidak perduli apabila yang dihadapinya adalah DPRD Kota Surabaya serta pimpinan partai politik yang sejak awal menentang beberapa kebijakan kontroversinya.

“Sekian puluh tahun saya jadi bikokrat, saya pegang prinsip itu. Nah, kemudian kalau saya menjabat wali kota ini paling lama lima tahun, apakah saya harus mengubah sikap, saya kira nggak,” tandas Risma, begitu panggilan akrabnya, dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia hari Selasa (25/1) lalu di rumah dinasnya di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Saya tetap berpedoman: kepentingan masyarakat itu yang utama, saya tidak akan berubah apapun resikonya, karena saya yakin suara rakyat itu suara Tuhan

Tri Rismaharini

Wawancara dengan Risma, 50 tahun, memang berlangsung dalam suasana 'genting', di sela-sela kesibukannya menjawab protes DPRD Kota Surabaya yang mempersoalkan kebijakannya dalam menata ulang reklame.

Setelah dilantik sebagai Wali Kota Surabaya, perempuan kelahiran 20 November 1961 ini memang telah melahirkan berbagai kebijakan yang menuai protes dari para politisi di DPRD kota tersebut, diantaranya soal penataan reklame dan penolakannya atas pembangunan jalan tol di tengah kota.

Wawancara dengan BBC Indonesia dilangsungkan disebuah petang bergerimis, setelah alumni Institut Teknologi Sepuluh November, ITS, Surabaya ini bertemu Gubernur Jawa Timur untuk menyelesaikan masalah politik ini.

Tapi tampaknya perundingan tersebut tidak membuahkan hasil, karena tidak dihadiri pimpinan DPRD Surabaya.

Dan klimaksnya, hari Senin (31/1), Pansus hak angket DPRD Surabaya tentang kebijakan penataan reklame akhirnya mengeluarkan rekemondasi kepada DPRD Surabaya untuk mengusulkan pemberhentian Tri Rismaharini sebagai walikota.

Namun bukan Rismaharini apabila tidak “melawan”. Selain tidak menghadiri sidang tersebut, Risma juga sejak awal mengatakan tidak ada yang salah dari kebijakannya.

“Saya tetap berpedoman: kepentingan masyarakat itu yang utama, saya tidak akan berubah apapun resikonya, karena saya yakin suara rakyat itu suara Tuhan,” katanya, sebelum rekomendasi pansus itu dikeluarkan.

“Saya tidak boleh bergeming karena keinginan bukan atas nama pribadi atau kelompok,” tegas Risma, seorang arsitek tamatan ITS itu.

Tidak kompromi

Julukan 'keras kepala' diberikan lawan politiknya, setelah Risma menolak permintaan DPRD kota itu untuk meninjau ulang beberapa kebijakannya.

Kepada Heyder Affan, Rismaharini mengaku tidak akan mengubah sikapnya.

Setidaknya ada tiga kebijakan yang terus dipersoalkan. Pertama, Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 tentang penataan reklame.

Kebijakan ini intinya menaikkan tarif pajak reklame dari 100% hingga 400% untuk reklame berukuran delapan meter. Sebaliknya, reklame berukuran lebih kecil tarifnya diturunkan hingga 40%.

Dalam berbagai kesempatan, Risma menyebut langkahnya ini agar “Surabaya tidak menjadi hutan reklame”.

Keberadaan reklame berukuran raksasa juga disebutnya “rawan dan membahayakan masyarakat jika roboh”.

Alasan ini kontan saja dimentahkan para politisi di DPRD Kota Surabaya, yang -seperti dikutip media- menyebutnya dapat mematikan pengusaha reklame dan biro iklan. Risma juga dicurigai bertujuan untuk menguntungkan perusahaan reklame tertentu.

Tuduhan ini tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Risma. “Saya lakukan semua itu untuk kepentingan masyarakat. Tidak ada yang bersifat pribadi,” katanya.

Sikap menolak kompromi juga ditunjukkan perempuan kelahiran Kota Kediri, Jawa Timur ini, ketika mati-matian menolak pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya.

Padahal, rencana membangun jalan tol sepanjang 23, 8 kilometer senilai Rp8 triliun ini sudah disetujui pemerintah pusat dan didukung DPRD kota itu.

Saya ngotot agar taman itu bisa dinikmati masyarakat, yaitu menjadi ruang sosial dan rekreasi bagi masyarakat tidak mampu

Tri Rismaharini

Disebutkan jalan tol dari kawasan Waru-Sidoarjo ke Tanjung Perak itu akan dapat mengurangi kemacetan.

Tetapi apa jawaban Risma? “Jalan tol itu tak akan menyelesaikan kemacetan di Surabaya, justru di masa depan akan memperparah kemacetan.”

Dia kemudian mengusulkan agar meneruskan pembangunan jalan lingkar timur untuk mengurangi kemacetan sekarang dengan alasan pembangunan jalan tol ini akan mengorbankan ribuan warga yang harus digusur.

Jawaban ini menimbulkan gelombang reaksi kemarahan politisi DPRD Surabaya. Tuduhan 'keras kepala' pun diarahkan kepada ibu dua anak ini.

Bagaimanapun Risma tetap tidak bergeming: “Orang tua saya mendidik saya punya prinsip, yang -kalau bisa- tidak berubah dalam kondisi apapun. Kalau sepanjang itu benar, kebenaran itu harus dipegang. Itu yang (menyebabkan) orang lain menganggap saya keras kepala,” paparnya, datar.

Terobsesi taman kota

Ancaman interpelasi dari DPRD Kota Surabaya terhadap dirinya sepertinya sama sekali tidak mempengaruhi rutinitasnya. Usai wawancara, Risma mengajak BBC keliling Kota Surabaya, untuk melihat langsung taman-taman kota yang dulu ditatanya.

Semenjak dipercaya menduduki jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2005-2008), Risma sudah dikenal sebagai pejabat yang 'gila taman'.

Rismaharini mengklaim semua kebijakannya untuk kepentingan warga.

Malahan sejumlah media terbitan Surabaya menjulukinya sebagai “Ibu Giman” alias Ibu Gila Taman.

Langkah pembangunan dan penataan taman-taman kota di berbagai sudut kota ini terus ditindaklanjutinya saat dia dipercaya sebagai Kepala Perencanaan Kota Surabaya (2008-2010).

Saat itu, hampir tiap hari koran lokal Surabaya melaporkan, sejak saat itulah ibukota propinsi Jawa Timur itu terlihat “makin hijau dan indah”.
menyedot perhatian.

Kenapa Anda begitu terobsesi terhadap taman, sehingga Anda dijuluki 'ibu Giman'?

Risma sempat tertawa, sebelum menjawab pertanyaan ini. “Saya ingin mengubah imej Surabaya yang selalu dikatakan sebagai kota yang panas, kota yang keras”.

Dan lebih dari sekedar membangun taman, Risma ingin taman-taman itu bermanfaat langsung bagi warga Kota Surabaya.

“Saya ngotot agar taman itu bisa dinikmati masyarakat, yaitu menjadi ruang sosial dan rekreasi bagi masyarakat tidak mampu,” ungkapnya.

Itulah sebabnya, menurutnya, tidak ada taman di sudut-sudut Kota Surabaya yang berpagar. “Ini yang membuat taman kita tidak satu pun yang 'nggak laku.”

Panggung politik

Dibesarkan dalam dunia birokrasi, Risma akhirnya dipaksa untuk terjun ke politik praktis setelah dia terpilih sebagai Wali Kota Surabaya periode 2010-2015.

Kendala itu bukan karena saya perempuan. Kendalanya karena saya berangkat dari birokrat, dan selama ini saya tidak mengenal politik.

Tri Rismaharini

Di sinilah perempuan berkerudung ini mengaku bagaimana memahami dunia politik itu sebagai kendala utamanya.

“Kendala itu bukan karena saya perempuan. Kendalanya karena saya berangkat dari birokrat, dan selama ini saya tidak mengenal politik,” ungkapnya terus terang.

Di ajang Pilkada tahun lalu, diajukan oleh PDI Perjuangan sebagai calon wali kota, dan Risma akhirnya mampu mengungguli lawan-lawannya.

Sebuah dunia baru bernama 'politik praktis' pun dia terjuni, dan ternyata tidaklah muda.

“Karena saya biasanya di birokrat, dasar-dasarnya itu adalah dari data, yang kemudian kami realisasikan. Nah, tapi ternyata dalam politik tidak demikian. Nah ini terus-terang saya masih sangat belajar di situ.”

Namun buru-buru Risma mengatakan, meskipun sekarang dia terjun di dunia politik, “kesejahteraan masyarakat tetap menjadi tujuan utamanya”.

Dalam wawancara itu, Risma berulangkali menyebut peran kedua orang tuanya yang disebutnya mampu membentuk 'karakter'-nya seperti sekarang, termasuk ketika menghadapi persoalan politik dengan DPRD Kota Surabaya.

Secara khusus dia menyebut sosok mendiang ayahnya. “Ayah saya sebetulnya berhak dimakamkan di makam pahlawan, dan berhak dapat fasilitas sebagai veteran. Saya tahu dia menolak. 'Saya berjuang untuk tidak dapat fasilitas, tapi untuk negara'. Ini membekas pada saya,” ungkapnya.

“Saya takut melukai orang tua saya, kalau saya mengkhianati kota ini,” katanya, agak diplomatis, sekaligus menutup wawancara dengan BBC Indonesia.