Fokus

Kontribusi ITS sebagai jago bidang robotika bagi masyarakat

EMPO Interaktif, Jakarta – Enam bulan lamanya Bayu Prasetyo dan lima kawan mahasiswanya di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya-Institut Teknologi Sepuluh Nopember menghabiskan waktunya di dua tempat: laboratorium dan pasar loak di Jalan Demak, Surabaya, Jawa Timur.

Di pasar loak itu mereka berburu berbagai peralatan elektronik untuk membuat D4=S1, robot yang meraih juara pertama dalam ajang Kontes Robot Indonesia di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Juni lalu.

Menurut Bayu, mereka kerap harus blusukan ke sana sampai tiga-empat kali dalam sepekan untuk mencari komponen yang dibutuhkan, dari aluminium untuk kerangkanya, sensor penggerak, hingga motor. “Termasuk mesin fotokopi bekas, yang kami pakai sebagai mesin penggerak robot, dapatnya ya di sana,” kata Bayu pada Selasa pekan lalu.

Tim yang dibentuk pada Desember tahun lalu itu diketuai Bayu Prasetyo dan beranggotakan Bayu Sandi Marta, Muhammad Hisyam, Iwan Kurnianto, Agus Suharyanto, dan Arik Setiyono. Semuanya mahasiswa semester IV dan VI di jurusan elektronika dan teknik komputer.

Mereka dibimbing Fernando Ardila, dosen muda yang mengajar mata kuliah microcontroller, embedded system, dan rangkaian digital. Tim ini bertugas merancang dan membuat robot yang akan dilombakan dalam kontes robot.

Selain mereka, ada lima tim robot lain yang dikirim kampus mereka ke kontes robot di Yogyakarta itu, dari tim robot cerdas hingga robot seni. Setiap tim terdiri atas tiga mahasiswa. Tim ini dibentuk setelah kampus menyeleksi 150 mahasiswa yang mendaftar.

D4=S1 merupakan unit dari tiga jenis robot, yakni robot pembawa manual, robot pembawa otomatis, dan robot penjelajah otomatis. Pembuatan ketiga robot ini menyesuaikan kriteria kontes, yang mensyaratkan tiga jenis robot yang berbeda fungsi.

Panitia kontes mengambil tema “Bersama Kita Bisa Meraih Kemenangan” (Traveling Together for the Victory Drums) dengan memungut tradisi kago rakyat Jepang. Kago adalah semacam tandu atau joli yang digunakan untuk mengangkut tokoh masyarakat atau petinggi saat bepergian jauh. Kago biasanya dipikul oleh dua orang di depan dan belakang, dengan menyusuri hutan, mendaki bukit, dan menuruni lembah.

Para robot peserta kontes akan meniru kago ini. Dua robot pembawa bekerja sama untuk memikul robot penjelajah yang ukurannya separuh lebih kecil. Salah satu robot pembawa dikendalikan melalui kabel dari jarak jauh dan robot pembawa lain bergerak secara otomatis.

“Yang satu mesti dijalankan orang, yang satu tinggal pencet tombol saja,” kata Muhammad Hisyam, anak tukang reparasi dinamo di Surabaya yang mengaku baru tertarik pada elektronik setelah kuliah.

Dalam kontes itu, para robot akan melewati rintangan berupa simulasi gunung dan hutan untuk menuju daerah sasaran. Di sana robot penjelajah harus memukul beduk tiga kali. Robot yang tercepat memukul beduk akan jadi pemenangnya. Konsep ini mengikuti aturan kontes robot internasional Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) Robocon.

Dalam pertandingan pada pertengahan Juni lalu, D4=S1 berhasil melaju melewati rintangan yang ada dan memukul beduk dengan catatan waktu 54 detik dari 3 menit waktu yang disediakan. Robot itu pun meraih juara pertama setelah mengalahkan robot Patriot dari Universitas Gadjah Mada dan robot Shiraru dari Universitas Pendidikan Indonesia.

Seperti peserta lain, D4=S1 terdiri atas tiga robot. Robot pembawa manualnya memiliki bobot 18,40 kilogram, yang dilengkapi tiga roda–dua di belakang dan satu di depan–dan dapat bergerak sejauh 25 meter dalam waktu 30 detik. Untuk menjalankannya, robot ini digerakkan oleh seorang operator melalui pengendali jarak jauh yang terhubung ke badan robot melalui seutas kabel.

Dalam kontes ini, pengendali robot itu adalah Bayu Sandi Marta, alumnus sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur, yang mengaku sebelum kuliah tak tahu apa-apa soal elektronika. “Bagaimana mau tahu banyak, kan di pondok lebih banyak ngaji,” kata remaja asal Situbondo ini.

Adapun robot pembawa otomatis berbobot 18,20 kilogram dan memiliki empat roda, dua di belakang dan dua di depan. Kemampuan geraknya tak jauh berbeda dengan robot manual.

Kedua robot itu bergerak dengan sebuah aluminium berbentuk persegi empat sebagai tumpuannya. Mereka punya sebuah tiang aluminium setinggi 75 sentimeter yang terpasang tegak di atas tumpuan. Tiang ini menjadi semacam tangan yang mampu memanjang hingga satu meter lebih.

Adapun robot penjelajah memiliki bobot 9,4 kilogram. Dia juga digerakkan empat roda. Dua roda belakang berbentuk kendaraan biasa, tapi dua roda depan berasal dari troli yang bisa bergerak ke samping atau maju-mundur. “Itu bekas roda lemari,” kata Bayu Prasetyo.

Tinggi robot penjelajah hanya separuh dari tinggi dua robot lain. Tiga batang aluminium berlapis busa terpasang tegak di badan robot dan menjadi tangan bagi si robot kecil. Saat pertandingan, batangan inilah yang menjadi pemukul gong sebagai penanda robot telah menyelesaikan tugasnya.

Bayu mengatakan ketiga robot ini digerakkan dengan menggunakan aki kering 24 volt. Besarnya tenaga baterai ini menyesuaikan dengan ketentuan kontes. “Aturannya tidak boleh melebihi 24 volt,” ujarnya.

Untuk mengendalikan robot, sebuah chip AVR dipasang di robot-robot ini. Chip buatan Atmel, Amerika Serikat, ini tergolong pengendali mikro yang murah. Dia berfungsi sebagai otak robot.

Sebelum otak robot itu dipasang, kata Fernando, dia diprogram terlebih dahulu dengan menggunakan bahasa C. “Pemrograman semacam ini lazim digunakan oleh programer komputer,” kata dia.

Menurut Fernando Ardila, semula robot itu diberi nama P-Cool, pelesetan dari kata “pikul”, kerja yang dilakukan para robot itu. Tapi, setelah melewati seleksi tahap pertama, diketahui ada banyak nama pelesetan kata “pikul” yang digunakan oleh peserta lain. “Ada ‘phi-coll’, ‘pi-koll’, atau yang lain,” ujarnya.

Maka, untuk membuatnya berbeda, tim itu mengubah nama robot mereka menjadi D4=S1. Nama baru itu, tutur Fernando, berasal dari keprihatinan mereka terhadap jenjang pendidikan D-4 (diploma) yang kerap mengalami diskriminasi.

Sebagian persepsi yang berkembang di masyarakat ataupun di dunia kerja, kata dia, menganggap jenjang D-4 masih berada di bawah S-1 (sarjana). Padahal, ia menambahkan, secara keilmuan dan masa belajar, keduanya tidaklah jauh berbeda, kecuali bahwa mahasiswa D-4 lebih banyak melakukan praktek di lapangan langsung.

Fernando mengaku pernah bertemu seorang alumnus D-4 Politeknik Elektronika Negeri Surabaya yang ditolak saat melamar kerja di sebuah kantor. Pihak kantor itu beralasan bahwa mereka butuh lulusan dari jenjang S-1.

Nama robot mereka seakan menggarisbawahi persamaan kedua jenjang itu. “Sehingga namanya lebih terdengar sebagai sebuah gugatan,” kata Fernando.

D4=S1 yang baru saja memenangi kontes itu sebenarnya merupakan robot formula keempat. Sebelumnya, tim itu telah menghasilkan tiga paket robot, tapi robot-robot itu terpaksa dibongkar dan dirancang ulang karena tak memenuhi kriteria kontes.

Bayu mengatakan tak tahu pasti berapa dana yang dihabiskan untuk menciptakan robot-robot ini. Selama perakitan, kata dia, pihak kampus mendukung semua biaya pembelian bahan dan operasional perakitan. Mereka hanya perlu membuat surat permohonan dana dan menyampaikan ke pihak kampus jika membutuhkan bahan-bahan robot yang harus dibeli.

Tim pun mendapat keistimewaan menggunakan sarana dan fasilitas kampus untuk kepentingan pembuatan robot. Bahan-bahan robot yang mereka dapat kemudian dibawa ke laboratorium kampus yang buka selama 24 jam. Tak jarang mereka harus menginap di laboratorium itu untuk memasang dan membongkar robot sekadar untuk mencocokkan dengan bahan yang tepat.

Meski sudah menang di kontes Yogyakarta, tim itu kini sedang mempersiapkan robot baru yang akan dibawa ke kontes robot internasional ABU Robocon di Tokyo, Jepang, pada Agustus mendatang.

Berbagai keunggulan D4=S1 akan disempurnakan, seperti kecepatan, ketangkasan, atau keharmonisan geraknya. Jika lintasan sepanjang kurang-lebih 25 meter pada kontes lalu mampu ditempuhnya dalam waktu 41 detik, di kontes Jepang itu, “Robot baru harus lebih cepat lagi,” kata Bayu.