Berita

Kita Mesti Lebih Terbuka

Ir. Sardjono
Presiden Direktur PT Media Karya Sentosa 

Kita Mesti Lebih Terbuka
Taicing: Kalau alumni ITS, begitu sudah berhasil, kebanyakan tidak mau dirusuhi adik-adiknya.

Presiden Direktur PT Media Karya Sentosa Sardjono ini dalam struktur pengurus pusat Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS) Surabaya menjabat sebagai bendahara. Alumni Teknik Kimia angkatan 1981 ini belum lama menduduki posisi tersebut.

Di kalangan alumni, mungkin belum banyak yang mengenal Cak Sardjono, kecuali di lingkungan alumni teknik kimia.

Namun, namanya sudah banyak dikenal di dunia minyak dan gas bumi, serta pertambangan mineral. Dialah salah satu pendiri PT Mahaka, bersama Muhammad Lutfi, kini Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Cak Sardjono kini juga menjadi pemilik liquified petroleum gas (LPG) plant terbesar dari sisi kapasitas produksi di Indonesia.

Begitu menjadi pengurus, Cak Sardjono langsung aktif. Dia hampir selalu hadir dalam acara yang diadakan pengurus. Dalam rapat kerja nasional PP IKA ITS akhir tahun lalu di Bandung, Jawa Barat lalu, di tengah kesibukannya yang tinggi, Cak Sardjono mengikuti rapat hingga menjelang penutupan.

Untuk mengetahui kiprah Cak Sardjono baik di IKA ITS maupun di dunia kerja, wartawan majalah IKA ITS,  Kelik Dewanto dan Ahmad Thonthowi, mewawancarinya di kantornya, di  Gedung Artha Graha Lantai 6, Kawasan Pusat Bisnis Sudirman, Jakarta Selatan pada pertengahan Januari lalu.

Bagaimana Network IKA ITS sejauh ini?
Belum terlalu kelihatan manfaat network di IKA IT ini. Kita mesti berjuang
lebih baik lagi agar network menjadi bagus, tidak hanya internal, tapi juga
diakui secara nasional. Network itu seharusnya jangan hanya mandek di ITS, tapi
harus keluar. Kalau di ITS saja, maka tidak akan menghasilkan apa-apa.

Contohnya?
Dunia perminyakan dan gas bumi lebih banyak digeluti orang di luar ITS. Memang
mereka terjun lebih dulu dan mereka sudah punya ilmu perminyakan dan geologi sejak lama, sehingga bisa lebih berkembang. ITS sendiri baru mau merintis jurusan perminyakan atau geologi. Otomatis, dunia ini dikuasai mereka. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa berkembang. Kita harus menjalin hubungan dengan mereka. Mau atau tidak mau. Bukan berarti orang ITS, tidak banyak yang bekerja di dunia perminyakan. Kita banyak, tapi hanya 1-2 orang saja yang berperan besar sebagai pimpinan. Karenanya, kita harus lebih terbuka.

Selain network, apa lagi yang harus dibenahi?
Teman-teman ITS itu sering egonya terlalu besar. Kejawatimurannya besar. Seperti tidak mau
kenal orang lain. Kalau sudah ITS, ya ITS-lah yang paling besar. Itu malah menutup diri, dan justru menghalangi kita bergaul secara lebih luas.
Padahal, bisnis terjadi karena ada network atau pergaulan, uang nomor dua, selain pengetahuan tentunya. Network juga bisa dilakukan secara individu, tidak melalui lembaga seperti IKA.

Jadi, ego tidak diperlukan?
Perlu. Tapi, jangan lantas tidak bergaul. Perguruan tinggi lain itu banyak bergaul. Setelah berada di atas, mereka menggeret adik-adiknya. Kalau alumni ITS, begitu sudah berhasil, tidak mau dirusuhi adik-adiknya. Bahkan, jangankan menggeret, ditemui saja sulit. Sekarang ini, sudah agak bagus. Coba kalau dulu, ketemu orang sukses dari ITS sangat sulit.

Alumni ITS perlu geret-menggeret?
Menurut saya perlu. Universitas lain sudah melakukannya sejak dulu. Mereka lebih kompak. ITS baru sedikit yang melakukan seperti itu.

Bagaimana soal pendanaan?
Seorang pemimpin harus memberi contoh. Misal, melalui Forum Eksekutif ITS, alumni diminta iuran Rp100 juta. Mungkin tidak menjadi masalah, tapi pemimpin harus memberi contoh. Dengan demikian, banyak yang ikut. Melalui forum tersebut, alumni bisa diajak berinvestasi dalam berbagai bisnis, bisa bangun kompresor untuk pembangkit listrik seperti yang saya geluti, ikut baksonya Cak Eko, atau pendidikan.

Potensi pengumpulan dananya?
Cukup besar, tapi mesti ada iuran pada tahap awalnya. Jangan dadakan, misal ada kegiatan di Bandung, baru iuran. Dana harus ada sampai akhir periode. Pemanfaatan dana juga harus dipertanggungjawabkan. Sebab, dana ini kepercayaan. Selain itu, pemimpin harus melepaskan IKA dari kepentingan pribadi terutama yang menyangkut keuntungan.

Menurut Anda, apa untuk cara membesarkan IKA ITS?
IKA ITS sekarang ini sudah lebih bagus. Hanya tinggal memperkecil perbedaan
antarwilayah dan antara pusat dan wilayah. Pusat hanya sebagai koordinator,
wilayah yang kerja. Tugas koordinator adalah mengarahkan, membimbing dan
kalau perlu membantu. Toh, kalau keluar namanya ITS juga. IKA juga harus
lebih meninggalkan atribut jurusan atau apalah, dan bersatu lagi. Hal itu bisa dilakukan dengan
lebih sering bertemu dan memang perlu waktu.

 

 

Sardjono masuk ke Teknik Kimia pada tahun 1981, sebagai mahasiswa pindahan dari Universitas Diponegoro, Semarang. Setelah menyelesaikan kuliah tahun 1986, Sardjono muda bekerja di PT Petrokimia Gresik pada tahun 1987-1988. Setelah itu, bekerja di PT Kelian Equatorial Mining (KEM) selama 1,5 tahun sebagai metallurgist.

Sardjono muda terus berkiprah. Tahun 1993, Sardjono mendirikan PT Mahaka antara lain bersama dengan M. Lutfi (kini, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal – BKPM), Wisnu Wardana, dan Erick Tohir (kini Direktur Utama TV One). Melalui PT Mahaka ini, Sardjono mengajukan proposal pembangunan pabrik kapur hidrat ke PT Freeport Indonesia.

 

Setelah proyek di Freeport dengan nilai investasi US$37 juta dolar AS selesai, Sardjono memutuskan keluar dari Mahaka. Dia masuk ke bisnis nikel melalui perusahaan milik sendiri, PT
Kencana Raya Mega Perkasa di Pulau Ge, Halmahera. Nikel mulai ditambang tahun 1996, dan selesai produksi 2006. Selain itu, melalui perusahaannya yang lain, PT Yudhistira Bumi Bhakti bekerja sama dengan PT Aneka Tambang (Persero) mengerjakan tambang nikel Tanjung Buli. Perusahaan tambangnya ini mulai berproduksi sejak 1998, dengan kapasitas sekarang 1,5 juta ton bijih nikel per tahun.

Mengapa memutuskan keluar dari Kelian dan menjadi enterpreneur? Kan sudah enak?
Saya tidak mau hanya menjadi second class. Kita yang mengerjakan segala
sesuatunya, tapi yang dapat nama para ekspatriat. Gaji besar mereka. Tapi, kalau ada
yang salah, kita yang kena. Perusahaan asing itu mau enaknya sendiri. Nah, waktu di
Kelian, saya diminta membina perusahaan kecil yang memasok kapur hidrat ke
Kelian.

Saya ajukan proposal pembangunan pabrik kapur hidrat dengan teknologi modern ke Kelian. Kapurnya akan terbakar sempurna. Saya dapat teknologi tersebut, setelah keliling Eropa dan bertemu dengan perusahaan kapur hidrat terbesar di dunia. Tapi, Kelian tidak mau. Akhirnya, saya keluar dari Kelian, dan proposal saya tawarkan kemana-mana. Akhirnya, saya mendirikan Mahaka itu, agar proposal lebih  bisa diterima.

Menurut Anda, ITS perlu pendidikan entrepreneur?
Jiwa pengusaha tidak bisa dipaksakan. Tapi, kondisilah yang memaksa atau memang sudah punya bibitnya. Pendidikan memang bisa membuat manager menjadi handal, tapi tidak menciptakan pebisnis. Saran saya, kalau mau menjadi pengusaha, sekecil apapun itu, kalau bisa sesuai bidangnya. Sayang sekolahnya.

Selain bisnis pertambangan, Cak Sardjono juga tercatat sebagai orang pertama yang mengembangkan LPG dari gas alam. Kini dia memiliki LPG plant terbesar se-Indonesia yang ada di Gresik, Jawa Timur. Setelah LPG, Cak Sardjono berencana untuk menjadi pengembang DME dari gas bumi pertama di Indonesia.

 

Mengapa tertarik terjun ke bisnis LPG?
Saat itu, tahun 2001, bahan bakar LPG hanya dihasilkan dari minyak mentah
sebagai produk samping kilang pengolahan bahan bakar minyak. Gas alam yang juga
mengandung LPG, masih kurang disentuh. Kamilah yang pertama kali
mengembangkan LPG dari gas alam.

Pertimbangan lainnya?
Kami melihat pertumbuhan permintaan elpiji di perkotaan mencapai angka yang
cukup bagus yakni 4,5 persen. Adapun pasokan LPG dari dalam negeri
belum memadai. Saat 2001 itu, produksi LPG dari dalam negeri masih sekitar
satu juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan mencapai dua juta ton.

Jadi, itu alasannya masuk ke bisnis LPG?
Ya. Kami melalui PT Yudhistira Haka Perkasa, (Cak Sardjono menjadi Presiden Direktur) mengusulkan kerja sama pengembangan LPG dari gas alam kepada PT Pertamina
(Persero) yang menjadi satu-satunya pemain LPG. Setelah dilakukan tender
dengan 37 peserta, Pertamina menetapkan kami sebagai pemenang. Kilang LPG
akhirnya dibangun di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat dengan nilai investasi US$17
juta.

Bagaimana pola kerja samanya dengan Pertamina?
Memakai sistem BOO (built, operate, own). Jadi, investasi kami yang
lakukan, sedang Pertamina selain memasok bahan baku berupa gas alam, juga
mengambil produk LPG-nya. Kami hanya dibayar berdasarkan biaya proses.
Pasokan gas yang masuk mencapai 20 MMSCFD dengan produk 140 ton LPG per
hari. Tahun 2003, kilang LPG Cilamaya mulai berproduksi.

Peluangnya semakin bagus ya setelah adanya program konversi?
Benar. Pertumbuhan permintaan LPG jadi makin tinggi. Tahun 2009 ini,
kebutuhan diperkirakan mencapai empat juta ton. Namun, produksi dalam
negeri diprediksi hanya 1,8 juta ton. Pada 2006-2007 seiring dimulainya
program konversi, kami kembangkan lagi LPG bekerja sama dengan PT Odira
Energy di Tambun, Bekasi. Namun, dalam proyek itu kami hanya menyertakan
saham yang tidak terlalu besar.

Selanjutnya?
Kami melalui Media Energi Group mengembangkan kilang LPG berkapasitas yang
lebih besar lagi, bekerja sama kembali dengan Pertamina. Dibangun di Gresik,
Jawa Timur sejak 2006. Mulai November 2008 sudah berproduksi sebesar
180 ton per hari. Berbeda dengan Cilamaya, di Gresik yang bernilai
investasi US$45 juta, produk LPG-nya menjadi milik kami. Produk LPG
sebagian besar dibeli Petredec, dan lainnya oleh Pertamina.

Selain LPG, apa lagi produk yang dihasilkan kilang Gresik?
Kilang Gresik dengan areal seluas lima hektare juga menghasilkan produk lean gas yang mengandung unsur C1 dan C2, dan disalurkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Gresik milik PT PLN (Persero). Pasokan gas yang mencapai 46 MMSCFD ini menghemat pemakaian BBM pembangkit, sehingga membantu pemerintah dalam menekan subsidi.

Perbedaan dengan kilang sebelumnya?
Di Gresik, kami juga bangun fasilitas bongkar muat yang mengalirkan LPG langsung ke kapal. Kami menjadi satu-satunya yang mempunyai fasilitas tersebut. Kami juga merencanakan pembangunan kilang tahap kedua di lokasi yang sama.

Selain LPG, ada investasi lainnya?
Kami melalui Media Energi Group juga melakukan investasi tiga stasiun kompresor senilai US$60 juta. Kompresor dibangun di kompleks PLTGU Muara Tawar, yang akan meningkatkan tekanan gas sebanyak 350 MMSCFD, sebelum masuk ke pembangkit. stasiun kompresor unit
pertama sudah selesai September 2008, stasiun kedua dijadwalkan pada Maret 2009, dan ketiga akan dimulai dibangun Februari ini. PLN akan membayar setiap volume gas yang dipompakan. Kompresor ini mempunyai peranan penting, sebab PLTGU Muara Tawar tidak bisa beroperasi kalau kompresor ini tidak jalan. Artinya, kalau tidak beroperasi, maka akan ada black out. 

Selanjutnya, proyek apa lagi yang mau digarap?
Kami melihat kebutuhan LPG tidak akan mampu ditutupi dari produksi di dalam negeri. Indonesia akan terus mengimpor, dan itu menyebabkan kerugian bagi negara. Kami berpikir, kenapa pemerintah tidak mengembangkan dimetil etil eter (DME), yang bisa menjadi substitusi LPG, karena memiliki kesetaraan karakteristik.

Apakah hanya DME sebagai pengganti LPG?
Tidak ada jalan lain sebagai pengganti LPG, selain membangun DME. Kalau
dari biofuel sulit, karena tergantung CPO yang cenderung dimanfaatkan buat
pangan, dibandingkan bahan bakar. Selain itu, DME mempunyai dampak
lingkungan yang lebih baik bila dibandingkan LPG, karena terbakar sempurna.
Tidak ada CO dan CO2 dari DME. DME sudah dikembangkan secara massal di China dan
Eropa.

Dampaknya bila kita tidak segera kembangkan DME?
Program konversi minyak tanah ke LPG tidak optimal, karena Indonesia
selamanya akan mengimpor LPG. Produksi LPG baik dari minyak mentah maupun
gas alam tidak akan cukup. Selain itu, DME bisa diproduksikan dalam waktu
segera, sementara kalau membangun kilang BBM membutuhkan waktu lama,

Sudah ada rencana mengembangkan DME?
Sudah. Kami menggandeng perusahaan asal Korsel STX Company. Bersama STX,
kami sudah siapkan investasi US$200 yang dapat memproduksikan
DME hingga dengan satu juta ton per tahun. Dengan kapasitas tersebut,
pemerintah tidak perlu mengimpor LPG. Kalau pemerintah setuju, maka dalam
hitungan bulan, kami sudah investasi.

Bagaimana dengan kajian yang menyatakan harga DME tidak ekonomis?
Sebenarnya masalah pengembangan DME bukanlah keekonomian, tapi kemauan
pemerintah menggunakannya. Sebab, harga jualnya hampir sama dengan LPG.
Lalu, bahan bakunya yang berasal dari gas alam, dapat diperoleh dengan
murah karena Indonesia memiliki cadangan gas alam yang cukup melimpah,
sehingga DME bisa dibangun dengan kapasitas besar. Indonesia juga memiliki
wilayah dengan cadangan gas yang cocok dikembangkan DME. Pemerintah bisa
memetakan wilayah mana yang dikembangkan LNG, mana DME, mana buat listrik,
pupuk, dan industri.

Apa yang mesti dilakukan pemerintah?
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mesti lakukan kajian bahwa produk DME bisa dipakai sebagai pengganti LPG. Kami memang pernah menyampaikan soal DME ini ke pemerintah, namun saat itu tidak ada tindak lanjutnya. Waktu itu, kalau mau ekonomis, harga gas harus di bawah US$2 per MMBTU. Hanya saja sekarang ini, dengan harga gas sampai US$4 per MMBTU masih cukup ekonomis untuk mengembangkan DME.

2 Komentar

Comments are closed.