Fokus

Karya Besar Mangkrak

Banyak karya teknologi ITS yang mangkrak. Padahal, karya-karya inovatif itu pernah menghebohkan Indonesia. Salah satunya, mobil berenergi matahari Widya Wahana III yang kini tergolek di bawah tangga gedung rektorat. Bodinya penuh debu dan pesing. Aih, tragisnya…

Bukan hanya keluarga besar ITS yang bangga atas keberhasilan mereka menciptakan mobil tenaga surya, kala itu. Tapi juga warga Surabaya dan pemerintah Indonesia. Betapa tidak, mobil tersebut sempat digadang-gadang menjadi kendaraan alternatif non-BBM (bahan bakar minyak) yang layak dibanggakan.

Itu terjadi pada 1989, ketika para mahasiswa Kampus Sukolilo tersebut berhasil merakit dan meluncurkan mobil bertenaga surya pertama. Oleh menteri pendidikan dan kebudayaan kala itu, Prof Fuad Hasan, mobil tersebut diberi nama Widya Wahana (WW) yang berarti kendaraan ilmu pengetahuan.

Saat WW I diuji coba dan sukses merayap di jalan raya, masyarakat pun mengelu-elukan. Media massa memberitakan setiap hari. Tidak main-main, WW I mampu menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Surabaya. Start dari Tugu Monas dan finis di Tugu Pahlawan. WW I diproduksi di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, kini PT Dirgantara Indonesia) Bandung.

Mobil tersebut menggunakan teknologi hibrid dengan menggabungkan energi cahaya matahari dan energi jala-jala listrik yang disimpan dalam aki (accu). Perbandingan tenaga solar cell dan elektrikalnya masing-masing 50 persen.

Mahasiswa yang mengawal perjalanan WW I mendapat sambutan bak pahlawan pulang perang. Mereka diibaratkan para intelektual pembuka keberhasilan Indonesia menuju abad tenaga surya. Nama ITS pun melambung ke pentas nasional sebagai kampus berbasis teknologi papan atas. Kampus-kampus lain sempat iri atas keberhasilan ITS itu.

Sukses dengan WW I, ITS kembali meluncurkan WW II pada 1992. Pada mobil generasi kedua tersebut, peran tenaga surya meningkat menjadi 70 persen. Perbandingannya, 70 persen solar cell, 30 persen elektrikal. Mobil itu dirancang untuk city car dengan kecepatan maksimum 60 km/jam.

Konstruksi bodi WW II menggunakan prinsip semi monochoque dengan bahan fiberglass. Mobil tersebut juga melakukan road test sejauh lebih dari 1.000 km dari Jakarta ke Surabaya melalui Jogjakarta. Sambutan peluncuran WW II tak kalah heboh saat itu.

Euforia penciptaan WW II berlangsung hingga empat tahun kemudian. Pada 16 Juli 1996, beberapa menteri yang berkunjung ke ITS terkagum-kagum pada prestasi para mahasiswa kampus itu. Termasuk, Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana.

''Mobil ini bisa menempuh perjalanan panjang dengan mengandalkan tenaga surya,'' kata Syarifudin, dekan Fakultas Teknologi Industri ITS kala itu, menjelaskan kepada rombongan menteri.

Penyempurnaan mobil bertenaga surya made-in ITS terus dilakukan. Kali ini melibatkan berbagai fakultas. Di antaranya, Fakultas Teknik Fisika, Mesin, Elektro, sampai Arsitektur. Yang pasti, WW menarik perhatian para mahasiswa ITS untuk mengembangkan energi alternatif. Sampai akhirnya, lahirlah WW III.

Yang menakjubkan, konstruksi mobil berbentuk serangga kepik itu didesain sebagai mobil balap dengan balutan sel surya di seluruh ''kulit''-nya. Waktu itu, 1999, WW III dipersiapkan untuk mengikuti World Solar Challenge (WSC), kompetisi mobil bertenaga surya, di Australia. Karena itu, seluruh desainnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada WSC.

Sayang, begitu mobil yang mempunyai panjang 6 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 1 meter tersebut selesai dibuat, masalah besar menghadang. Mahalnya harga solar cell dan ketiadaan biaya transportasi memupuskan harapan tim WW III berangkat ke Australia. Tak ada sponsor swasta maupun pemerintah yang bersedia mendukung misi anak-anak muda kreatif tersebut. Sejak saat itulah karya fenomenal ITS tersebut mulai terbengkalai.

***

SEMUA tinggal kenangan. Kondisi WW III itu kini tak berdaya, diparkir di bawah tangga lantai satu gedung rektorat ITS. Dekat peralatan gamelan. Beberapa tahun lalu, mobil fenomenal tersebut diletakkan di bagian depan lantai satu rektorat, seolah menyambut para tamu ITS yang datang ke gedung rektorat.

Kini, mobil kepik dengan kemudi satu orang itu mangkrak begitu saja. Ketika Jawa Pos hendak memotretnya minggu lalu, beberapa petugas cleaning service bingung membersihkan mobil berlapis solar cell tersebut. Sampah plastik sisa makanan ditemukan terselip di sekat-sekat mobil. Seekor kucing yang tidur melingkar di lantai mobil terbangun dan melompat ke luar. Jangan tanya baunya. Begitu pintu kemudi dibuka, bau pesing langsung menyengat.

Di mana WW I dan II? Menurut Ketua Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) ITS Prof I Nyoman Sutantra, mobil WW generasi I dan II itu kini disimpan di Museum Teknologi Jakarta. ''Memang patut disayangkan WW III jadi begini,'' ujar Sutantra.

Bukan hanya kondisi fisik WW III yang memprihatinkan. Menurut dia, ITS juga ''kehilangan'' berbagai data mengenai WW. Sutantra, yang kala itu menjadi pembimbing pembuatan WW III, hanya bisa geleng-geleng kepala ketika ditanya soal detail WW III. Dia tidak memiliki data lengkap soal WW III. ''Yang punya bagian kemahasiswaan,'' katanya.

Tak mudah mencari data pembuatan WW di ITS. Bahkan, di bagian kemahasiswaan sekalipun, data mengenai karya fenomenal itu nihil. Jawa Pos harus pergi ke perpustakaan, sesuai rekomendasi petugas bagian kemahasiswaan, untuk menelusuri sejarah Widya Wahana.

Di perpustakaan pun hanya ditemukan secuplik keterangan mengenai WW. Memang, setidaknya sudah empat mahasiswa yang mengambil skripsi berkaitan dengan komponen-komponen WW. Namun, tetap saja belum bisa menyeluruh.

Misalnya, informasi yang dikumpulkan dari skripsi Hasti Afianti, mahasiswa teknik elektro. Menurut Hasti, WW III memiliki efisiensi tinggi dalam hal elektrifikasi. Sifatnya ringan dan kuat yang meliputi struktur bodi dan rangka, sehingga diharapkan nyaman digunakan serta mudah dalam perawatan.

Sutantra menyatakan, pembuatan WW III yang 100 persen murni tenaga surya tidak mudah. Baik dari segi perancangan maupun pendanaan. Proyek itu melibatkan puluhan mahasiswa ITS yang bergabung dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) Widya Wahana. ''Jumlahnya 40-50 mahasiswa. Mereka tersaring dalam seleksi ketat. Cukup banyak kan?'' ujarnya.

Pembuatan WW III dibiayai secara patungan antara ITS, alumni ITS, dan IPTN. Berapa dana yang dihabiskan untuk pembuatan WW III? Sutantra tak ingat betul. ''Yang jelas, harganya lebih mahal daripada mobil Mercy,'' tegasnya.

Permukaan mobil yang luasnya 8,5 meter persegi (semua dilapisi solar cell) saja menghabiskan USD 27 ribu (sekitar Rp 243 juta, dengan kurs saat itu 1 USD = Rp 9 ribu). ''Memang sangat mahal. Sebab, waktu itu solar cell masih langka. Apalagi yang memiliki efisiensi 14 persen seperti WW III,'' ungkapnya.

Biaya yang ditelan mobil kepik seberat 300 kilogram tersebut tak berhenti di situ. Salah satu komponen yang juga menghabiskan banyak dolar Amerika adalah aki (accu) yang dipakai. Mobil itu menggunakan aki kering seharga USD 15 ribu (Rp 135 juta). Semua bahannya diimpor dari mancanegara.

Tak dimungkiri, mobil tersebut memang menghabiskan banyak dana. Sayang, kata Sutantra, saat itu mobil gagal diterbangkan ke Australia untuk mengikuti kontes adu mobil tenaga surya tingkat internasional. Padahal, dalam uji coba perjalanan Jakarta-Surabaya (disambut arak-arakan di Tugu Pahlawan), mobil berhasil menunjukkan ketangguhannya. Yakni, mampu berjalan dengan kecepatan hingga 90 km/jam.

''Kami tersandung biaya untuk berangkat ke Australia. Tidak ada yang mau membiayai. Biaya untuk mengangkut mobilnya saja sangat mahal,'' jelasnya.

Mulai saat itulah WW III kehilangan fokus lagi. Orang mulai melupakan karya fenomenal ITS tersebut. Apalagi, satu per satu mahasiswa yang terlibat dalam tim WW III merampungkan kuliahnya. Begitu pula dengan dosen-dosennya yang harus kembali pada tugas sehari-hari sebagai pengajar.

Secara pribadi, Sutantra menyayangkan mangkrak�-nya Widya Wahana. ''Itu sudah masuk dalam ranah policy pemerintah. Semestinya pemerintah mau turun,'' tegasnya.

Mobil tenaga surya tersebut sebetulnya bisa diambil alih pemerintah untuk dikembangkan menjadi produk masal. Bila pemerintah meminta sektor perindustrian secara optimal memanfaatkan kelebihan-kelebihan PTN, bisa dipastikan cerita penelitian mangkrak tak bakal ada. ''Tapi, selama ini, kita lebih memilih menjadi tukang jahit,'' ujarnya.

***

Andika Estiyono kini hanya bisa tersenyum getir setiap melihat WW III tergolek tak berdaya di kantor rektorat. Semasa mahasiswa, dosen Desain Produksi ITS itu termasuk anggota tim yang aktif dalam pembuatan WW III. Maklum, saat perancangan WW III pada 1999, Andika didapuk menjadi kepala bagian desain bodi mobil.

''Mobil itu kami desain kepik agar lebih cepat melaju. Lebih futuristis,'' ungkap pria 38 tahun tersebut.

Saat merampungkan proyek WW III, Andika nyaris tak istirahat. Setiap ada waktu luang, dia langsung meluncur ke UKM Widya Wahana. ''Siapa tak bangga bisa membuat mobil tenaga surya. Mobil itu begitu dielu-elukan semua orang. Saya tak pernah menghitung berapa uang yang keluar dari dompet,'' ujarnya.

Tak ada yang terpaksa. Pembuatan mobil surya tersebut ibarat hobi bagi para mahasiswa.

Untuk menyelesaikannya, Andika megaku banyak mendapat bantuan dari IPTN. Staf IPTN juga menjadi penasihat proyek tersebut. Dia juga masih terkenang saat bersama teman-temannya berpresentasi di hadapan Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie. ''Pak Habibie mantuk-mantuk mendengar penjelasan para mahasiswa. Wah, kami bangganya bukan main. Rasanya kami sudah sekelas dengan orang pintar itu,'' katanya.

Begitu lulus dari ITS, Andika sudah tak mengikuti perkembangan mobil surya tersebut. Di antara anggota UKM Widya Wahana, memang hanya Andika yang kemudian mengabdikan diri di almamater. Meski demikian, saat bertandang ke rektorat untuk rapat dosen, dia masih sering melirik mobil karyanya tersebut.

''Ya, setiap melirik WW III, saya mbatin, itu dulu buatan saya. Tidak terlalu sedih memang, cuma eman banget,'' tegasnya.

Dia berharap ada komitmen dari mahasiswa untuk mengembangkan WW III. Mereka harus berpikir bagaimana mengembangkan mobil tersebut jadi lebih sempurna. ''Mahasiswa sekarang kalau nggak ada untungnya enggan mengerjakan proyek-proyek seperti itu,'' ujarnya.

Seharusnya, kata Andika, WW III bisa dikembangkan dalam dimensi yang lebih kecil. Mobil tersebut bisa menjadi kendaraan keliling kampus. ''Mobil itu bisa dipakai untuk mengantar tamu-tamu dari rektorat ke fakultas-fakultas. Kan ada manfaatnya. Kami juga bisa bangga melihatnya,'' tegasnya. (git/ara/ari)
(www.jawapos.co.id)