Rehat

Jangan Paksakan Anak Berbahasa Inggris

KOMPAS.com – Jangan paksakan anak-anak berbahasa Inggris dan jangan sampai mengabaikan bahasa ibu (bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Di mana pun anak terlahir di luar negeri, bahasa ibu bisa diajarkan. Setiap anak memiliki kemampuan untuk belajar multibahasa, namun hal itu bisa dipraktikkan dengan komunikatif asal dilakukan dengan penuh disiplin.

Demikian pokok-pokok pikiran yang mengemuka dalam diskusi peluncuran buku Anak-anak Multibahasa (Penerbit Aku Cinta Indonesia Publishing, Juni 2009) di FAB Café Gramedia Grand Indonesia, Minggu (9/8) di Jakarta.

Tampil sebagai pembicara salah seorang penulis buku tersebut, yaitu Santi Dharmaputra, dan pakar pendidikan Prof Dr H Arief Rachman MPd. Juga ada dua penanggap, pakar bahasa di Universitas Atmajaya, Sudjono dan Bambang.

Santi mengatakan, bahasa Indonesia dalam kenyataannya tidak popular di kalangan bangsa sendiri. Bahkan, ada orang Indonesia yang dua-tiga tahun di luar negeri, sudah enggan berbahasa Indonesia. “Kalau berbahasa Indonesia dialeknya sudah keinggris-inggrisan. Ini seharusnya tidak terjadi. Bahkan, anak dari keluarga Indonesia yang lahir di luar negeri, seharusnya mengajarkan bahasa ibu, bahasa Indonesia atau bahasa daerah,” kata Santi.

Pengamatan terhadap keluarga-keluarga anak bangsa di berbagai negara rantau, banyak yang membesarkan anak-anaknya dengan bahasa asing. Bukan dengan bahasa Indonesia. “Latar belakang keputusan untuk membesarkan anak dengan bahasa asing, beraneka ragam. Yang paling sering terlontar adalah pertanyaan, Apakah mungkin untuk membesarkan anak dalam dua bahasa atau banyak bahasa (multibahasa) tanpa membuat anak bingung?” paparnya.

Santi adalah perempuan Indonesia yang bersuamikan orang Perancis. Anaknya lahir di Perancis dan menguasai empat bahasa, yakni bahasa Indonesia, Jerman, Inggris, dan Perancis. Santi dan suaminya berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dengan anaknya, Santi berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, sedang suaminya berkomunikasi dengan anaknya dalam bahasa Perancis. Bahasa Inggris dan Jerman diperoleh anak di sekolah dan pergaulan.

Dalam buku Anak-anak Multibahasa, Santi dan delapan perempuan Indonesia lainnya (Jumiarti Agus, Ninda Harahap, Cahayahati, Mieke Nurmalasari, Rita Diana Najib, Yuli Nawa, Rose F Nakamura, Hani Iskandarwati), menuturkan masing-masing pengalamannya membesarkan anak secara multibahasa, baik di dalam maupun di luar Indonesia. “Yang perlu digarisbawahi, bahasa Indonesia selalu termasuk dalam formula multibahasa keluarga mereka,” tandas Santi.

Arief Rachman mengatakan, melalui bahasa ibu, peradaban dan kebudayaan bangsa dapat terbentuk. “Sebab bahasa tidak hanya suatu bahan, tetapi bahasa adalah salah satu akar dari nilai-nilai kehidupan masyarakat yang mengujar bahasa tersebut,” katanya.

Ia melukiskan sejumlah bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah dan yang sudah punah. Seperti di Sumatera, ada 13 bahasa daerah, dua di antaranya terancam punah dan satu bahasa daerah sudah punah. Di Irian dan Halmahera, terdapat 271 bahasa daerah, 56 bahasa di antaranya terancam punah karena penuturnya sudah semakin langka. Jika bahasa suatu daerah punah, maka suatu saat kebudayaan daerah tersebut juga akan punah.

Menurut Arief, bahasa itu suatu identitas dan punya kebanggaan. Dalam mempelajari suatu bahasa asing, penyesuaian diri itu penting. Anak-anak harus terus dimotivasi.

Sementara Bambang mengatakan, jangan paksa anak-anak berbahasa Inggris. Pengalaman yang ditulis bagaimana ibu-ibu membesarkan anaknya dengan multibahasa dengan tetap mengajarkan bahasa Indonesia, sesuatu yang patut ditiru.

Untuk anak-anak di Indonesia, jika ingin mempelajari bahasa Inggris, bahasa Indonesia harus mereka kuasai dulu. Mengajarkan bahasa Inggris ke anak harus komunikatif.