Rehat

Empat Rawon Juara

Sebagai penyuka rawon saya baru saja mendapat kejutan menyenangkan. Dalam dua hari berturut-turut, saya menemukan rawon juara di empat tempat di Jawa Timur.

Rawon pertama sebetulnya bukanlah penemuan baru. Siapa yang tidak kenal “Rawon Nguling” legendaris di Desa Tongas, antara Pasuruan dan Probolinggo? Di tempat yang sama, di bawah naungan pohon trembesi tua yang rindang, warung rawon ini sudah hadir sejak tahun 1942. Menurut penerusnya – yang sekarang sudah mencapai generasi ketiga – dulu kakek mereka berjualan rawon di bawah pohon itu. Yang singgah untuk makan di situ adalah kusir gerobag sapi, dan para petani yang kebetulan lewat di situ. Nyonya-menir naik mobil yang melintas di Jalan Raya Daendels (Groote Postweg) pada saat itu tidak singgah makan rawon – de zwarte soep van Java.

Pertama kali saya makan rawon di warung ini adalah pada akhir tahun 1970-an, ketika saya iseng mencoba naik bus dari Denpasar ke Surabaya. Titik teduh di bawah pohon trembesi itu ternyata juga dimanfaatkan oleh DAMRI (Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia) pada saat itu sebagai tempat untuk meng-absen armadanya yang melintasi jalur utama Jawa-Bali. Sekaligus kesempatan itu dipakai untuk menurunkan penumpang yang memerlukan toilet atau makan dan minum. Pada waktu itu, warung rawonnya masih dikenal dengan nama “Warung Lumayan”.

Karena saya anggap rawonnya dahsyat, pada pertengahan 1980-an saya mampir lagi ke “Warung Lumayan”. Di depan warung sederhana itu terlihat sebuah mobil sedan Mitsubishi Galant baru berwarna hijau. Ternyata, pemiliknya, Basuki Abdullah sedang menyantap rawon dengan lahap di warung itu juga. Saya kemudian tahu bahwa ternyata Maestro Affandi juga selalu singgah ke warung itu dalam perjalanannya yang sangat sering antara Yogyakarta-Bali.

Dalam rentang waktu hampir tujuh dasawarsa, “Warung Lumayan” telah bersalin nama menjadi “Rawon Nguling”, karena tempatnya di Kampung Nguling, bagian dari Desa Tongas. Bagi saya, “Rawon Nguling” adalah contoh dari sebuah tempat makan yang selama puluhan tahun berhasil memertahankan kualitas dan tradisi – bahkan meningkatkannya. Cabangnya pun sudah bertebaran di beberapa kota lain di Jawa Timur. Sejak akhir 2008, mereka mulai mengelola rumah makan ini secara modern, dan menawarkan waralaba (franchise) bagi yang berminat. Waralaba pertama mereka akan segera dibuka di Jakarta.

Ketika singgah di cabang “Rawon Nguling” di Malang pada awal 1990-an, saya terkejut ketika tersedia pilihan rawon dengkul, yaitu bagian lutut sapi yang dimasak dalam kuah rawon. Mak nyuss! Ternyata, Malang memang dipakai sebagai ujung tombak untuk product development mereka. Sekarang, pengembangan produk mereka sudah menghasilkan rawon iga sapi, rawon buntut, rawon paru, rawon lidah, rawon limpa, dan sebagainya. Semuanya disajikan dalam gelimang kuah hitam dengan tingkat kegurihan yang mengagumkan.

Rawon adalah masakan khas Jawa Timur yang bumbu utamanya adalah kluwek. Dalam bahasa Betawi, kluwek disebut pucung. Masakan Betawi juga mengenal kuah pucung yang sangat mirip rawon, tetapi proteinnya adalah ikan – bukan daging sapi. Di Pekalongan, masakan berkuah yang mirip rawon disebut garang asem. Di Makassar juga ada palu kalua yang mirip kuah pucung Betawi – juga untuk masakan ikan. Tetapi, bagi saya, rawon Jawa Timur adalah juara dunia. Warnanya hitam kelam, aromanya khas, dan pilihan kluweknya menciptakan rasa kacang (nutty) yang nendang. Tidak mudah membuat rawon karena menuntut ketepatan tinggi untuk menyeimbangkan bumbu-bumbu seperti: kluwek, kemiri, daun jeruk, daun salam, sereh, dan bawang merah.

Rawon disajikan dengan sambal dari cabe dan bawang, serta tauge pendek. Tauge pendek merupakan keharusan karena tauge yang “belum jadi” ini justru masih manis rasanya. Manisnya tauge pendek dan pedasnya sambal menciptakan nuansa khas untuk rawon. Lauk pendampingnya yang juga termasuk “default” adalah krupuk udang dan telur asin. Tempe goreng garing juga cocok sebagai pendamping tambahan.

Rawon kedua yang saya dudukkan di jajaran juara adalah olahan “Warung Sakinah” di Pasuruan. Warung ini sebetulnya juga bukan temuan baru. Sudah beberapa kali saya singgah ke warung yang sangat populer dengan sate komoh-nya. Sate komoh adalah sate dari daging sapi berukuran besar. Sebetulnya mirip empal berbumbu basah yang diakhiri dengan membakarnya sebentar di atas bara arang. Sate komoh adalah sajian khas Pasuruan dan sekitarnya. Biasanya, saya makan sate komoh sebagai lauk nasi campur.

Dalam kunjungan terakhir ke “Warung Sakinah”, saya tergoda memesan sate komoh dengan nasi plus semangkuk kuah rawon. Saya terkejut melihat kuah rawon itu datang dengan irisan daun bawang muda panjang-panjang. Semula saya pikir malah kucai karena penampangnya yang kecil. Kehadiran daun bawang muda di dalam kuah rawon itu membuatnya terasa sangat segar. Kegurihan kluweknya diimbangi dengan kesegaran daun bawang yang khas. Duh, baru sekali itu saya mencicipi kuah rawon yang sangat nyamleng. Saya menduga keras bahwa daun bawang muda itulah yang “bertanggung jawab” atas peningkatan kualitas kuah rawon.

Di Banyuwangi saya menemukan satu tempat baru yang memang sudah lama dikenal sebagai tempatnya makan rawon paling top di kota itu. Ketika saya singgah ke sana, Pak Bupati bersama jajarannya sedang makan siang sambil rapat dinas di rumah makan itu. Nama rumah makannya: “Bik Atik”.

“Bik Atik” menyajikan rawonnya mirip “Rawon Nguling”. Selain pilihan rawon buntut, rawon iga, dan rawon dengkul, juga tersaji sepiring penuh berisi empal, paru goreng, lidah goreng, dan babat goreng, sebagai penambah protein. Kuah rawon “Bik Atik” juga menakjubkan. Di dalam kuahnya saya temukan serpih-serpih panjang daun bawang muda yang tampaknya sudah digoreng dulu sebelum direbus dalam kuah kluwek. Daun bawang goreng ini mengingatkan saya kepada sotomi Ciseeng yang juga memakai taburan serupa. Bedanya, di “Bik Atik” daun bawang mudanya kemudian direbus lama agar diserap oleh kuahnya.

Tentu saja saya langsung nyelonong ke dapur untuk melakukan “investigasi”. Ternyata, bukan hanya daun bawangnya yang dipakai, tetapi juga bawang merahnya yang masih muda. Hanya akar serabutnya yang dibuang, lalu semuanya digoreng dan direbus dalam kuah rawon. Dan, memang benar, bawang muda itulah yang merupakan “senjata pamungkas” dalam resep rawon juara “Bik Atik”.

Misteri tentang daun bawang muda yang baru saya temukan itu membuat saya merasa berkewajiban untuk singgah lagi ke “Rawon Nguling”. Misi saya sangat sederhana, yaitu untuk bertanya apakah daun bawang muda juga digunakan dalam proses memasak rawon di rumah makan legendaris itu.

Sekali lagi rahasia terkuak. “Rawon Nguling” juga memakai daun bawang muda dalam resepnya. Tetapi, mengapa tidak kelihatan dan tak tampak jejak-jejaknya? Ternyata, bawang muda berikut daunnya sudah di-blender menjadi satu dengan bumbu-bumbu lain. Bumbu yang sudah dihaluskan itu kemudian ditumis dan dimasukkan ke dalam air yang dipakai untuk merebus daging.

Sebetulnya ada lagi satu rawon mak nyuss yang sejajar dengan ketiga rawon yang sudah saya sebut, yaitu rawon tutup dengkul dari RM “Tengger” di pinggiran kota Pasuruan. Tetapi, karena di rumah makan ini saya selalu memesan sate kambing yang kualitasnya di atas yang lain, maka rawon-nya sering terpinggirkan dari perhatian saya. Jangan lupa, RM “Tengger” adalah sebuah rumah makan dengan toilet paling bersih di seluruh Indonesia.

Kalau liburan akhir tahun ini Anda akan melintasi jalur Pasuruan-Probolinggo-Banyuwangi, Anda sudah tahu empat tempat dengan rawon juara yang wajib disinggahi.