Berita

Biofuel Mengancam Bumi

Namanya Marion King Hubbert, seorang ilmuan geologi yang bekerja pada laboratorium penelitian Perusahaan Shell di Houston, Texas. Dialah yang mengungkapkan akan habisnya sumber daya energi dari minyak bumi karena eksplorasi secara terus menerus, dalam jurnal ilmiahnya di tahun 1956. inilah yang kita kenal dengan Teori Peak Oil. Hubbert mengatakan, eksploitasi besar-besaran akan terjadi sekitar tahun 2000, setelah itu produksi akan menurun dan tahun 2200 minyak bumi tinggal kenangan.
 
 
Kampus, ITS Online – Seperti yang kita tahu, minyak bumi berasal dari fosil makhluk hidup yang berasal dari puluhan juta tahun yang lalu. Melalui proses kimiawi, jasad yang mengendap selama berjuta-juta tahun tersebut berubah menjadi minyak bumi. Makhluk hidup tersebut tentunya hidup dalam masa tertentu, sudah pasti jumlahnya pun tertentu. Ini berarti minyak bumi yang ada juga terbatas pada jumlah tertentu.

Hubbert memang tepat memprediksi produksi minyak AS yang menurun pada dekade 1970an, tapi tidak dengan belahan dunia lainnya. Begitu pula dengan Colin Campbell, Geolog yang sama seperti Hubbert juga tanpa henti melakukan revisi atas prediksi puncak produksi minyak dunia. Pada dasarnya, baik Hubbert maupun Campbell tidak pernah menyebutkan angka sesungguhnya jumlah persedian minyak dunia. Tapi bagaimanapun juga minyak bumi pasti akan habis, di mana permintaan jauh lebih tinggi dari persediaan.

Pada masa itulah sebuah energi alternatif berperan. Saat bumi tak lagi memiliki minyak bumi, maka pilihan-pilihan energi lain akan menjadi solusi. Secara umum, saat ini telah terdapat sembilan kategori energi alternatif yang sedang dikembangkan dunia. Mereka adalah energi termal lautan, angin, surya, energi dari sampah, energi dari tanaman, energi dari bumi (geothermal), energi dari hidrogen, dan terakhir adalah energi nuklir.

Dari ketujuh jenis energi alternatif tersebut, energi yang berasal dari tanaman saat ini mendapatkan prioritas utama di berbagai tempat di dunia. Energi dari tanaman inilah yang kita kenal dengan Bahan Bakar Nabati (BBN).  Bahan Bakar Nabati, dalam bentuk bioetanol dan biodisel ini seolah menjadi secercah harapan baru bagi dunia untuk menggantikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipastikan akan habis. Bioetanol dan biodisel telah dibuktikan mampu menggantikan bensin dan solar sebagai nyawa utama transportasi dunia yang mengkonsumsi energi paling besar.

Lantas, apakah dengan begitu permasalahan energi akan terselesaikan?  Ternyata tidak. Di balik harapan cerah tersebut tersimpan potensi bencana yang serius. BBN memang bisa terus diperbaharui, tapi bahan bakunya menjadi permasalahan tersendiri bagi Bumi. Seperti kita ketahui, BBN merupakan bahan bakar yang berbahan baku tumbuhan. Minyak bio-ethanol berasal dari tumbuhan tebu, jagung, singkong, ubi dan sagu, sedangkan bio-diesel dari sisa olahan sawit, kelapa, jarak pagar, dan kapuk. Semua tanaman tersebut tentunya membutuhkan lahan yang besar untuk memproduksi bahan bakunya. Di sinilah letak masalah tersebut.

Pertengahan Februari lalu, telah diluncurkan dua penelitian yang mengungkapkan dampak nyata produksi biofuel terhadap pemanasan global. Penelitian tersebut dilakukan oleh The Nature Conservancy di Minnesota dan Princeton University, keduanya di Amerika Serikat (AS). Mereka sepaham bahwa produksi biofuel lebih banyak berdampak negatif ketimbang positifnya.

Para peneliti tersebut mengungkapkan, kebutuhan etanol yang memerlukan bahan-bahan jagung, tebu, dan sejenisnya telah menyebabkan banyak lahan-lahan di seluruh dunia, seperti hutan hujan tropis dan padang rumput tempat hewan-hewan liar berkembang, dikonversi menjadi lahan untuk menanam bahan-bahan untuk keperluan ethanol tersebut. Akibatnya, terjadi pelepasan gas karbon ke udara dalam jumlah besar. Para peneliti Princeton mendapatkan data bahwa Duapuluh persen dari gas CO2 dihasilkan dari berubahnya fungsi tanah dan hutan-hutan yang hilang menjadi perkebunan.

Di Brazil sudah banyak kebun energi dibuat dengan mengkonversi hutan alam. Tak jauh berbeda dengan Malaysia dan Indonesia yang mengkonversi hutan menjadi kebun kelapa sawit, baik untuk biodisel maupun industri minyak goreng. Kebun-kebun energi inilah yang merusak habitat hutan alam, menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harganya, dan pada akhirnya akan mengubah landscape hutan alam secara total. Belum lagi efek pestisida yang digunakan untuk memperbaiki kualitas tanaman terhadap tanah dan populasi sekitarnya.

Alih-alih mengurangi emisi karbon, pembukaan kebun energi justru memunculkan masalah baru. Dan pada dasarnya penggunaan biofuel atau Bahan Bakar Nabati hanya memindahkan persoalan, dari masalah berkurangnya bahan bakar fosil ke masalah penggunaan lahan yang kurang tepat.

Di sisi lain, biofuel ternyata membawa efek kepada permasalahan pangan dunia. Beberapa penelitain menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menjadi biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian. Maka krisis pangan pun bisa jadi akan terus berlangsung, karena akan terjadi perebutan komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar dan kepentingan pangan.

Fakta lain yang juga harus dipikirkan adalah luas lahan yang harus digunakan untuk kebun energi. Suatu saat BBM akan habis sama sekali, yang artinya akan diganti dengan BBN 100%. Semisal kita bicara Indonesia saja. Tahun 2008, konsumsi solar diperkirakan 11,8 juta kiloliter. Jika produksi Jarak Pagar adalah 1590 liter/hektar/tahun, maka akan dibutuhkan 7.421.384 hektar ladang pohon jarak (74.213 km2). Luas ini sama dengan dua kali luas wilayah Jawa Barat. Belum lagi untuk total konsumsi nasional BBM jenis premium yang diganti sepenuhnya dengan bahan bakar bio jenis bioetanol. Maka, akan lebih luas lagi wilayah di Indonesia yang harus digunakan untuk pengembangan energi terbarukan berbasiskan tanaman. Lalu apakah sebagian besar lahan di bumi ini nantinya akan menjadi kebun energi? Maka di mana anak cucu kita akan membangun rumahnya?

Ancaman lain akan datang dari negara-negara  industri besar yaang akan memasok energi nabati dari daerah penghasil biofuel. Dan sepertinya cerita akan berulang, di mana para negara adidaya yang rakus energi kembali membutuhkan lahan luas dan prasyarat tumbuh lain untuk industri agrofuel. Kembali, lahan-lahan negara selatan akan menjadi sapi perah melalui industrialisasi pertanian.

Untuk itu, mulai kini dunia pun sudah harus memikirkan bagaimana menangani permasalahan yang bahkan belum terjadi. Alternatif energi memang menjadi solusi semakin habisnya cadangan perut bumi. Meski begitu, setiap kebijakan sudah semestinya memikirkan segala aspek, mulai dari lingkungan, ekonomi, dan sosial. Mari kita jaga bumi kita beserta isinya.

Emal Zain MTB
Mahasiswa Teknik Sipil ITS