Berita

Bank Dunia Soroti Investasi Manufaktur di Indonesia

JAKARTA, almuniITS:

Bank Dunia kembali menyoroti masalah daya saing dan pertumbuhan investasi salah satunya industri manufaktur di Indonesia. Masalah ini perlu mendapat perhatian sekaligus harus dituntaskan pemerintah Indonesia. Tujuanya untuk mengimbangi fundamental dalam negeri yang positif.

“Indonesia berpeluang meningkatkan pangsa pasar globalnya di sektor manufaktur, membuka jutaan peluang kerja baru dan menggerakan transformasi struktural. Tapi jangan sekadar mengandalkan permintaan domestik dan international,” saran Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefan Koberle dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (10/10).

Menurut Bank Dunia dalam paparan bertema “Mempercepat Laju: Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia”, sejak krisis keuangan asia, sejumlah masalah makro melemahkan pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia dan menurunkan daya saingnya di kawasan.

Di antara apresiasi rupiah, naiknya upah buruh relatif, pergeseran fokus ke perdagangan komoditas dan sektor-sektor berbasis sumber daya alam, persaingan international dan pengetatan margin keuntungan. Pertumbuhan produktivitas pun tidak sekuat negara-negara pesaingnya.

Soal mikro bagi perusahaan-perusahaan Indonesia termasuk biaya transportasi dan logistik tinggi, sulitnya mengakses pinjaman bank, serta kurangnya transparansi dan kepastian hukum.

“Masalah-masalah tersebut menyulitkan pendatang baru untuk membangun usaha dan mempersulit upaya pemain lama untuk melakukan ekspansi dan mencapai skala ekonomi,” kata Stefan.

Berbagai permasalahan ini telah membentuk kondisi “missing middle” (hilangnya lapisan tengah) yaitu banyaknya perusahaan kecil yang kurang produktif, yang membuat kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja menjadi kurang signifikan, sambung Stefan.

Ekonom Senior Bank Dunia, Sjamsu Rahardja, mengatakan sektor manufaktur juga berpotensi maju dan tumbuh secara berkelanjutan dengan kebijakan untuk meningkatkan nilai berbasis daya saing.

“Masalah makro dan mikro di sektor manufaktur bisa diatasi dengan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan daya saing biaya dan mengurangi biaya peluang,” kata Sjamsu.

Kendati demikian Bank Dunia menilai Indonesia memiliki peluang meraih “kesempatan kedua” karena adanya konsumsi domestik yang meningkat tajam, serta investasi yang juga meningkat karena banyak investor asing yang mulai melirik Indonesia karena potensi kelas menengahnya yang begitu besar dan upah buruh yang lebih kompetitif.

“Revitalisasi sektor manufaktur juga membutuhkan koordinasi yang lebih kuat antar instansi pemerintah dan pemda. Sektor swasta juga perlu diajak berunding untuk memperkaya desain kebijakan baru,” kata Sjamsu. (ndy)